Budaya / SeniEsaiKhazanah

 Puisi Erotis Ibnu Arabi: Kontempelasi KeIlahian melalui Perempuan

Puisi Erotis Ibnu Arabi: Kontempelasi KeIlahian melalui Perempuan. (FOTO: Progressive Scottish Muslims)
Puisi Erotis Ibnu Arabi: Kontempelasi KeIlahian melalui Perempuan. (FOTO: Progressive Scottish Muslims)

NUSANTARANEWS.CO – Ibnu Arabi adalah seorang penyair sufi yang kontroversial. Sejumlah puisi-puisi rindunya yang menggambarkan potret prempuan di dalamnya membuat pembaca dari masa ke masa cukup gagal paham. Sebagaimana puisi-puisi yang termaktub dalam buku puisi “Tarjuman al Asywaq”, Ibnu Araba cukup banyak menuliskan kisah keterpanaannya saat bertemu dengan peremuan cantik. Pertemuan yang menyisakan kerinduan.

Jika puisi-puisi Ibnu Arabi dimaknai secara lansung atau tekstual, puisi-puisi tersebut nampak sebagai bentuk kerinduan Ibnu Arabi kepada perempuan; sebuah kerinduan birahi, seksual dan erotis terhadap tubuh perempuan, yang pernah ditemuinya selama di Makkah.

Menurut Husei Muhammad yang tertarik menelaah buku puisi Ibnu Arabi yang satu ini menyebut bahwa, orang-orang awam memang selalu dan hanya dapat memahami ucapan verbal seseorang atau goresan kata-kata menurut arti lahiriah, literalnya.

 

“Mereka teramat sulit untuk bisa mengerti bahwa kata-kata sebenarnya adalah symbol-simbol dari pikiran dan relung hati yang amat dalam. Puisi adalah untaian kata yang sarat makna, penuh nuansa pikiran dan hati yang sulit ditebak. Maka ia memang bisa diberi makna ganda, eksoterik dan esoterik,” jelas Husein dalam huseinmuhammad.net, seperti dikutip nusantaranews.co, Jakarta (17/6/2018).

Baca Juga:  Pencak Silat Budaya Ramaikan Jakarta Sport Festival 2024

Puisi-puisi dalam “Tarjuman al Asywaq”, lanjutnya, Ibnu Arabi boleh jadi memang dicekam kerinduan yang membara terhadap seorang perempuan dalam arti secara fisik. Dengan kata lain kecintaan ibnu Arabi kepadanya tidak hanya secara spiritual dan intelektual, namun juga secara fisik dan psikis. Ibnu Arabi menulis: “Jika saja tidak mengkhawatirkan jiwa-jiwa rendah yang selalu siap terhadap skandal dan hasrat kebencian, akan aku sebutkan pula di sini keindahan lahiriah sebagaimana jiwanya yang merupakan taman kedermawanan”.

Akan tetapi, kata Husein, para pengagumnya menolak tafsir ini. Ungkapan-ungkapan Ibnu Arabi, menurut mereka memang tengah berkontempelasi dan merefleksikan cinta yang menggelora kepada Tuhan.

Refleksi dan kontempelasi Spritualitas Ketuhanan Ibnu Arabi rasanya amat sulit dapat dipahami, kecuali dengan membaca Syarh (komentar/penjelasan) yang ditulisnya sendiri : “Al Dzakha-ir wa al A’laq” (simpanan-simpanan dan kerinduan-kerinduan). Buku komentar ini sengaja ditulis sendiri oleh Ibnu Arabi untuk menjelaskan berbagai kritik dan cacimaki orang (para ahl fiqh) yang ditujukan kepadanya.

“Mereka menolak puisi-puisi cinta birahi, erotis. Ibnu Arabi dalam Tarjuman al Asywaqnya yang oleh dia dihubungkan dan dianalogikan dengan cinta kepada Tuhan. Komentar yang ditulisnya di Aleppo, Damaskus, selama tiga bulan; Rajab, Sya’ban dan Ramadhan ini kemudian dibacakan Qadhi Ibnu Adim di hadapan khalayak ahli fiqh. Begitu selesai, para pengkritik kemudian mengakui kesalahannya atau ketidakpahamannya itu dan bertaubat. Meskipun begitu, masih banyak ulama yang menolak kumpulan puisi-puisi mistik ini. Menurut mereka semua puisi ini tidak sesuai dengan pengalaman-pengalaman religious, terlalu erotic, kecabulan dan amat tidak pantas,” ungkap Husein.

Baca Juga:  Ketum APTIKNAS Apresiasi Rekor MURI Menteri Kebudayaan RI Pertama

Jadi, kata-kata dalam puisi-puisi Ibnu Arabi adalah kata yang berbentuk kiasan, metafora, simbol dan rumus-rumus yang mengandung makna-makna mistis dan sarat dengan nafas spiritualitas ketuhanan. Ungkapan-ungkapan Ibnu Arabi selalu memperlihatkan dualisme makna: lahir dan batin, tubuh dan ruh, Ketuhanan dan makrokosmos, teologis dan kosmologis, fisika dan metafisika. Ibnu Arabi mengatakan bahwa semua puisi ini berkaitan dengan kebenaran-kebenaran ilahi dalam berbagai bentuknya, seperti tema-tema cinta, eulogi, nama dan sifat-sifat perempuan, nama sungai, tempat dan bintang-bintang.

Ibnu Arabi dalam buku ini juga menyebut sejumlah nama perempuan lain seperti Hindun, Lubna, Sulaima, Salma, Zainab, Laela dan Mayya. Penjelasan Ibnu Arabi terhadap nama-nama perempuan ini, meski juga mengungkapkan kerinduannya kepada mereka, karena mereka adalah nama-nama yang menyejarah dalam kehidupan masyarakat, namun lagi-lagi bagi Ibn Arabi, mereka juga merupakan simbol-simbol kerinduan Ibnu Arabi kepada Tuhan. Tetapi Lady Nizam adalah perempuan yang digilai Ibnu Arabi dan paling mengesankan sepanjang hidupnya.

Baca Juga:  Bupati Nunukan Apresiasi Digelarnya Festifal Budaya Banjar

“Seluruh pengetahuan ketuhanan ini berada di balik tirai Nizam, putri guruku yang perawan, Syeikhah al Haramain, maha guru dua tempat suci dan al ‘abidah (pengabdi Tuhan yang tekun),” ungkap Ibnu Arabi dalam Al Dzakhair wa al A’laq, Dar al Shadir (Beirut: 1966)

Penting dicatat, dengan penyebutan nama-nama perempuan, Ibnu Arabi ingin memperlihatkan juga pandangannya tentang relasi laki-laki dan perempuan dalam arti sebenarnya. Perempuan, katanya dalam Futuhat al Makiyyah, adalah jiwa yang sempurna. Antara keduanya memang ada perbedaan keunggulan satu atas yang lain. Akan tetapi, meski demikian, keduanya adalah setara (sama) dalam kesempurnaannya. Dalam Al Futuhat, Ibnu Arabi menyatakan pandangannya dengan lebih jelas :

Perempuan adalah saudara kandung laki-laki

Di alam ruh dan dalam tubuh kasar

Keduanya satu dalam eksistensi

Itulah manusia

Perbedaan antara mereka aksiden semata

Perempuan dan laki-laki memang dibedakan

 

Penulis: Mugi Riskiana

Editor: Achmad S.

Related Posts

1 of 3,140