NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Kuasa Hukum Kaum Suku Tanjung Manggopoh, Azhar R. Rivai menjelaskan PT Mutiara Agam disebutnya telah menolak tunduk pada putusan Mahkamah Agung (MA) atas sengketa tanah dengan Suku Tanjung, Manggopoh, Agam. Saat ini kata Azhar, perjuangan masyarakat Suku Tanjung untuk mendapatkan hak atas lahan 2.500 hektare menemui titik terang. Ini menyusul MA telah mengabulkan upaya Peninjauan Kembali (PK) yang mereka ajukan. Suku Tanjung dinyatakan sebagai pemilik sah lahan yang digarap PT Mutiara Agam (PT Minang Agro).
“Putusan Peninjauan Kembali MA No. 749 PK/Pdt/2011 tersebut sekaligus membatalkan putusan tingkat kasasi No. 1263 K/PDT/2010 tanggal 27 Oktober 2010, dan putusan tingkat banding No. 131/PDT/2009/PT.PDG tanggal 13 Januari 2010 yang mengalahkan mereka sebelumnya, dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Lubuk Basung Nomor. 14/Pdt.G/2008/PN.LB.BS tanggal 10 Agustus 2009,” kata Azhar R. Rivai dalam keterangan persnya Senin (2/3/2020).
Dalam rapat permusyawaratan MA pada 19 Maret 2012 lalu lanjut dia, majelis hakim yang diketuai Mohammad Saleh beserta anggota Abdul Manan dan Suwardi menyatakan, tanah objek perkara seluas kurang lebih 2.500 hektare di kawasan Anak Aia Gunung, dan sekitarnya di Nagari Manggopoh, Agam yang selama ini masuk dan dieksploitasi PT Mutiara Agam melalui Hak Guna Usaha No. 4 Tahun 1992, adalah sah tanah ulayat suku Tanjung.
“Hakim menilai perbuatan PT Mutiara Agam dalam menguasai tanah objek perkara adalah merupakan Perbuatan Melawan Hukum. Tidak hanya itu, hakim juga menyatakan Sertifikat Hak Guna Usaha No. 4 Tahun 1992 Gambar Situasi Khusus No.01/1990 tidak mempunyai kekuatan hukum, sepanjang menyangkut tanah ulayat Suku Tanjung yang menjadi objek perkara, serta menghukum PT Mutiara Agam untuk menyerahkan kembali tanah objek perkara kepada Suku Tanjung Manggopoh dalam keadaan kosong. Selain itu, hakim juga menghukum PT Mutiara Agam membayar ganti rugi kepada Suku Tanjung berupa kerugian materil Rp 203.704.200.000, dan kerugian immateril Rp1 miliar,” sambungnya.
Putusan tersebut lanjut Azhar sudah diserahkan ke Pengadilan Negeri Lubuk Basung selaku eksekutor, namun sejak Putusan tersebut dirilis hingga tahun 2018, tidak ada itikad baik dari PT Mutiara Agam untuk menjalankan isi Putusan tersebut. Justru sekitar bulan Juli tahun 2018, Perusahaan dengan difasilitasi pihak-pihak tertentu melakukan tipu daya dan tekanan kepada Ninik Mamak Suku Tanjung Manggopoh saat itu agar melakukan perdamaian dan mengabaikan isi Putusan PK MA tersebut.
Ia menilai, berbagai potensi curang muncul dari berbagai pihak untuk menggagalkan proses eksekusi. Hal yang paling jelas, lanjut Azhar intervensi yang dilakukan Pemda dan Kepolisian setempat sehingga memaksa Ninik Mamak saat itu untuk tunduk dalam Perjanjian Perdamaian yang diajukan oleh PT Mutiara Agam.
“Terbukti dari hadirnya Sekda Agam Martias Wanto dan Wakapolres Agam Kompol Aksalmadi saat itu sebagai saksi Perdamaian di Pengadilan Negeri Lubukbasung pada 25 Juli 2018. Hal mana kemudian Ketua Pengadilan Negeri Lubukbasung menjadikan Perdamaian tersebut sebagai dasar Pelaksanaan Putusan Sukarela. Sebuah kondisi yang tidak lazim, jika aparatur pengadilan justru tidak tunduk pada putusan yang merupakan produk dari institusi mereka sendiri,” sambungnya.
Menurut Azhar, kejanggalan lain adalah ketika Perdamaian tersebut hanya menunjukkan angka sebesar Rp. 40 Milyar sebagai ganti rugi yang wajib dibayarkan oleh PT Mutiara Agam kepada Suku Tanjung Manggopoh. Bahwa selain Perusahaan hanya membayarkan uang yang nilainya jauh dari apa yang disebutkan dalam Putusan PK yang sudah inkracht tersebut, dalam Perdamaian juga memuat klausul muslihat berupa penyerahan hak atas Tanah Ulayat seluas 2.500 Ha kepada Perusahaan.
“Padahal Tanah Ulayat tidak bisa dialihkan begitu saja, dan Ninik Mamak tersebut tidak mempunyai hak dan kewenangan untuk itu,” ujar Azhar.
Adapun dari Nilai Rp. 40 Milyar yang dibayarkan lanjut Azhar, Ninik Mamak hanya mendapatkan sebesar Rp. 25 Milyar saja, dan sisa Rp. 15 Milyarnya diberikan kepada pihak lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan perkara ini. Terlepas daripada itu, nilai Rp. 25 Milyar inipun tidak sampai atau terdisitribusi sama sekali kepada Kaum Tanjung Manggopoh, dan hanya dinikmati oleh 4 orang Ninik Mamak yang mewakili saat itu saja.
“Terhadap Ninik Mamak tersebut sudah dilakukan pemberhentian melalui mekanisme adat disana pasca Penandatangan Perjanjian. Bahwa saat ini Kaum Suku Tanjung Manggopoh telah mengirimkan Somasi kepada PT Mutiara Agam agar menyelesaikan apa yang menjadi kewajibannya berdasarkan Putusan PK Mahkamah Agung tersebut,” jelasnya.
Menurutnya Kaum Suku Tanjung Manggopoh masih membuka ruang untuk mediasi dan menyelesaikan secara kekeluargaan. Apabila somasi tersebut diabaikan, maka pihaknya tidak segan untuk mengambil langkah hukum pidana, karena bagaimanapun Perbuatan yang dilakukan oleh Perusahaan dan pihak-pihak terkait dalam Perjanjian Perdamaian tersebut sudah terkualifikasi sebagai Perbuatan Curang (bedrog) yang memenuhi unsur Penipuan dan Penggelapan.
“Masyarakat membutuhkan keadilan, ini adalah hak yang dirampas dari mereka. Masyarakat sudah tidak tertahankan lagi untuk turun ke lokasi dan menghentikan operasional Perusahaan sebelum kerugian semakin bertambah. Namun saya masih menahan masyarakat agar tidak gegabah sambil menunggu itikad baik dari Perusahaan,” tandasnya. (red)