NusantaraNews.co – Masyarakat Minang mempunyai tolak ukur dalam menilai keintelektualan seseorang. Banyak istilah-istilah dalam mengkategorikan seseorang berdasarkan keilmuannya. Di Sumbar ada terkenal istilah “Kuciang Aia” (baca : kucing air). Yaitu istilah diberikan kepada orang yang tidak berkualitas atau orang rendahan/bodoh tidak perlu didengar omongannya. Bagi orang yang mengikuti omongan “kuciang aia” ini dianggap sebuah ketololan atau kehinaan.
Si-kucing air ini tampil sok pintar tetapi sebenarnya dia berpikiran sempit dan dalam perangkap orang yang sedang memanfaatkannya. Si kucing air sangat mudah dipanas-panasin dan merasa dirinya sudah hebat pula. Dengan percaya dirinya, si kucing air pun mengajak orang lain untuk ikut langkahnya. Ketika orang bertanya kepada dia, si kucing air tidak mampu menjawabnya malah omongannya ngawur.
Di dalam dunia politik, banyak ditemukan Kucing Air. Karena kesempitan berpikir dan biasa hidup dalam lingkungan tertutup lalu mereka menganggap bahwa orang yang beda dengannya (suku, agama, dan ras) adalah sebuah ancaman yang harus dimusuhi.
Dunia yang sudah menglobal dan terbuka, si kucing air bermain isu SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) yang sudah ketinggalan jaman. Suka mendikte keimanan orang, cemburu kesuksesan suatu kaum, merendahkan budaya bangsa lain dan mengekang kebebasan orang berekspresi. Budaya dan gaya hidup dilakukan oleh orang yang beda dengan kebiasaannya adalah suatu yang salah.
Kucing air lalu menghasut masyarakat bahwa agama lain adalah musuh besar. Seagama pun yang beda aliran dengan mereka dianggap beraliran sesat.
Kucing air dengan kebenciannya yang mendalam menyebarkan berita bohong dan fitnah yang mana didalam agama itupun sendiri dilarang. Berteriak-teriak atas nama Tuhan lalu si kucing air melakukan kekerasan, menghina, mencaci-maki, menghakimi orang dan bahkan melakukan tindakan teror dan membunuh.
Dengan pongah si kucing air mengatakan bahwa mereka lah yang benar dan orang hebat. Si kucing air lah yang bersih sedangkan yang lain adalah kotor. Si kucing air lah yang mulia sedangkan yang lain adalah hina. Si kucing air lah penentu sorga neraka seseorang. Kucing air menganggap bahwa kemiskinan dan penindasan terjadi karena kehadiran suku/etnis lain. Kucing air menganggap bahwa kerusakan dan kejahatan muncul karena agama lain.
Namanya saja Kucing Air, ketika diajak berdebat dan membuktikan kebenarannya, kucing air ngeyel sana-ngeyel sini. Lagaknya sok intelektual ternyata kosong dan miskin wawasan. Pemikiran dibawanya selalu berpatokan pada masa lalu yang sudah tidak laku lagi di era sekarang. Kucing air bak penjual kaset pita di jaman yang sudah digital. Kucing air bak tukang foto pakai klise.
Namanya saja Kucing Air, ketika dilihat perilakunya ternyata akhlaknya bobrok dan licik. Agama hanya sebagai kedok mereka. Agama sebagai alat bagi si kucing air untuk bisa mendapat simpatik dan dukungan serta tempat berlindung. Ketika dituntut dan ditangkap polisi lalu si kucing air lari ketiak jemaah dan memutarbalikan fakta. Berbagai provokasi, fitnah dan kabar bohong disebarkan bahwa agama kita diserang, para kafir menghina agama kita, dan berbagai hasutan lainnya.
Jemaah yang terhasut pun bergerak mendengar kabar si kucing air itu. Si kucing air yang licik tahu bahwa agama adalah cara ampuh untuk mengerakan massa dan bahkan dianggap pahlawan. Polisi pun kewalahan menghadapi mereka. Jika ditindak bisa menjalar ke provokasi2 lain dan jika dibiarkan bisa menimbulkan konflik horizontal ditengah masyarakat.
Disinilah bahaya isu SARA dimainkan kucing air.
Maukah kita perang oleh ulah provokasi si kucing air? Jika ini terjadi, alangkah memalukan! Konflik berkepanjangan timbul karena ulah si kucing air yang bodoh dan tidak berbobot sama sekali.
Semoga kita tetap terus menuju menjadi bangsa yang cerdas bukan orang-orang kucing air! Masih banyak dibutuhkan waktu, pemikiran dan energi kita untuk hal lebih berarti dan membangun kemajuan bangsa serta bisa ikut berbuat untuk perdamaian dunia.
Penulis: Aznil, Presidium PENA ’98