OpiniPolitik

Pilpres 2019, Politik Identitas Tumbuh Subur?

Manuver Elektabilitas Menuju Pilpres 2019
Menuju Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019. (Foto: Vote Indonesia)

NUSANTARANEWS.CO – Indonesia telah disuguhkan dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden untuk perhelatan akbar Pilpres 2019. Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Solahuddin Uno. Kedua pasangan juga telah terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU sebagai kandidat presiden dan wakil presiden periode 2019-2024. Adakah nuansa politik identitas dari kedua pasangan calon tersebut?

Sindiran, sentilan, bahkan adu voting di media sosial sudah menggema lebih awal. Satu sisi memang hal ini menunjukan antusias masyarakat atas politik semakin meningkat. Artinya, partisipasi politik semakin baik. Demokrasi semakin kuat.

Namun di sisi lain, perlu dikaji lebih jauh lagi partisipasi politik tersebut. Pasalnya, partisipasi politik yang ditunjukan masyarakat akhir-akhir ini selalu menyangkut isu SARA. Kita ketahui, politik identitas hanya akan melukai demokrasi itu sendiri. Sehingga konflik antar golongan sangat rentan terjadi.

Politik atas nama gologan tertentu atau biasa disebut dengan politik identitas akhir-akhir ini terasa semakin kuat. Berawal dari konflik-konflik identitas kecil di tengah-tengah masyarakat, hingga bertangkai pada isu politik dalam pemilihan umum. Nah, Pilpres 2019 kali ini sepertinya akan menjadi pucuk dari tangkai politik identitas tersebut.

Baca Juga:  KPU Nunukan Menggelar Pleno Terbuka Rekapitulasi Perolehan Suara Calon DPD RI

Kedua pasangan tampak menggunakan politik identitas. Pasangan Jokowi-Ma’ruf diklaim menggunakan isu agama dengan menggandeng ulama dari NU. Sama halnya dengan pasangan Prabowo-Sandiaga kuat atas nama massa 212.

Diketahui, massa 212 juga atas nama agama. Bahkan jauh sebelum pendaftaran capres-cawapres, mereka sudah solid. Hal ini menunjukan politik identitas semakin tumbuh subur.

Dalam teori yang dikemukakan oleh Abdillah (2002) politik identitas adalah politik yang dasar utama kajiannya dilakukan untuk merangkul kesamaan ras dasar persamaan-persamaan tertentu, baik persamaan agama, etnis, dan juga persamaan dalam jenis kelamin.

Sementara itu, Cressida Heyes mendefinisikan politik identitas sebagai suatu jenis aktivitas politik yang dikaji secara teoritik berdasarkan pada pengalaman-pengalaman persamaan dan ketidakadilan yang dirasakan oleh golongan-golongan tertentu, sehingga menghimpun kesatuan untuk menaikan drajat dan martabatnya.

Kedua teori di atas sangat pas dijadikan pisau analisa dalam memaknai ramainya isu capres-cawapres 2019 ini. Mereka menguatkan diri atas nama agama.

Baca Juga:  Pleno Perolehan Suara Caleg DPRD Kabupaten Nunukan, Ini Nama Yang Lolos Menempati Kursi Dewan

Di balik ramainya perbincangan publik tersebut ternyata tumbuh subur politik identitas yang punya duri yang setiap saat bisa melukai persatuan bangsa, bahkan juga persatuan umat. Kenapa persatuan umat? Karena keduanya adalah kelompok umat muslim yang berbeda gerbong.

Sehingga sebagai masyarakat demokratis, sangat pantas kiranya untuk tidak ikut membesarkan politik identitas yang sedang dikendarai kedua calon tersbut.

Ikut berdiskusi tanpa mencela satu sama lain lebih baik untuk menjaga persatuan. Hal ini akan berimplikasi pada membaiknya demokrasi di negeri ini. Apalagi jika pemilih mampu memilih calon benar-benar objektif tanpa isu agama. Meski penulis tahu bahwa itu sulit dilakukan.

Penulis: Muqaddim, Formateur KABID Kewirausahaan dan Pengembangan Profesi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Jakarta Selatan

Catatan: Artikel ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis seperti yang tertera, dan tidak menjadi bagian dari tanggungjawab redaksi nusantaranews.co

Related Posts

1 of 3,059