NUSANTARANEWS.CO, Banca Aceh – Ketua Peusaba Aceh Mawardi Usman mengaku geram dengan ulah pemimpin di Aceh. Para pemimpin di Aceh sepertinya lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada rakyat yang tengah kesulitan pada saat wabah thaun Corona melanda dunia. Ketua Peusaba meminta pemerintah di Aceh agar segera membantu rakyat yang kesusahan.
Ketua Peusaba mengingatkan bahwa pejabat dipilih untuk mengayomi rakyat bukan untuk memakan uang rakyat. Ketua Peusaba mengaku gerah dengan berita banyaknya dana yang digunakan tidak pada tempatnya di Aceh.
“Uang itu adalah uang rakyat, siapa yang menggunakan untuk kepentingannya secara tidak sah, maka haram hukumnya, dan diakhirat kelak yang memakan uang rakyat akan menjadi bahan pembakaran Api Neraka Jahannam!” tandas Ketua Peusaba.
Ketua Peusaba menceritakan, pada era Kesultanan Aceh hampir tidak pernah ada kasus korupsi, karena pejabat Kesultanan memang orang terpilih. Sultan juga memberikan tanah dan lahan lada untuk dikembangkan oleh rakyat dan hulubalang sehingga kawasan Aceh kaya raya dan makmur saat itu.
Para penjelajah asing mencatat keadilan dan kebaikan pada Kerajaan pra dan masa Kesultanan Aceh Darussalam.
Pada zaman Kerajaan Lamuri, penjelajah asing melaporkan bahwa kerajaan Lamuri adalah kerajaan penuh dengan perdagangan, dan negeri Lamuri menjadi negeri terbaik pada zamannya. Pada zaman itu masyarakat Lamuri hidup makmur, yang kaya tidak sombong, yang kekurangan tidak mencuri, sedangkan para raja dan pejabat hidup seperti ulama sufi.
Kesultanan Samudera Pasai masa Sultan Malik As Salih (1270-1296), Pasai mengalami kemakmuran dengan 7 temuan galian emas. Sampai kemudian Samudera Pasai terkenal di dunia timur dan barat. Sedangkan Sultan Samudera Pasai dan pejabat Kesultanan Samudera Pasai hidup seperti layaknya ulama sufi, dan menggunakan harta kekayaan untuk penyebaran Islam di seluruh kawasan Asia Tenggara.
Pada era Kesultanan Aceh Darussalam, Aceh melawan Portugis sejak 1511-1641 di Malaka. Sultan Aceh pertama Sultan Ali Mughayat Syah terkenal akan keberaniannya melawan Portugis di Malaka.
Para sejarawan saat itu menyebutkan bahwa Aceh saat itu adalah Bangsa Teuleubeh Ateuh Rueng Donya, karena dengan serangan Sultan Ali Mughayat Syah telah memaksa Angkatan Laut Portugis angkatan laut super power saat itu terpukul mundur, sehingga Angkatan laut Portugis tidak berani menyerang Yaman dan Jeddah dan mengganggu dunia Islam, karena harus menghadapi Aceh di perairan Samudera India.
Aceh kembali mendapatkan pujian pada zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) karena zaman Sultan Iskandar Muda kemakmuran Aceh luar biasa.
Rakyat Aceh saat itu amat makmur sampai sulit mencari penerima zakat. Sejarah mencatat, pada zaman Sultan Iskandar Muda, di Mesjid Raya Baiturrahman luasnya sejauh mata memandang jumlah jamaah shaf shalat lima waktu amat banyak, bahkan terbanyak kedua setelah jamaah Masjidil Haram saat itu. Sultan juga membuat mimbar dari Emas dan kemuncak mimbar dari suasa.
Bahkan Sultan sudah dapat menjadikan air sungai bersih dan suci, sehingga tertulis barangsiapa meminum air sungai Darul Ishqi sehatlah tubuhnya. Sultan Iskandar Muda terkenal akan kedermawanannya, dengan memberikan sedekah kepada segala orang fakir dan miskin ketika hendak pergi salat Jum’at.
Berbanding terbalik hari ini, ketika rakyat Aceh kesulitan sedangkan penjabatnya kaya raya. Mereka lupa dan tidak ingat bahwa barang siapa memakan yang haram, maka Api Neraka lah tempatnya, tidak ada artinya anda bertobat setelah pensiun dan menjadi alim setelah tidak menjabat, sebab harta haram yang sudah anda makan kelak akan menjadi dosa besar, dan tempatnya hanya di neraka. Itulah balasan bagi orang yang mengambil hak rakyat, hak anak yatim dan fakir miskin.
Ketua Peusaba Aceh meminta para pemimpin yang ada di Aceh agar segera bertobat sebelum datang murka Allah. Jangan sombong dan tamak karena mendapatkan secuil jabatan. Fir’aun yang menguasai benua Afrika saja, yang kekayaannya melimpah ruah, dibenamkan oleh Allah ke dalam laut! (MG/Red)