NUSANTARANEWS.CO – Pertahanan S-300 Venezuela siap menghadapi invasi militer Amerika Serikat (AS). Sejarah mencatat bahwa ketika AS menarik diri dari Kuba pada tahun 1958, rezim Batista runtuh, Castro bangkit dan mendapat dukungan Uni Soviet yang tepat berada 90 mil di selatan Miami. Trump tampaknya harus menghindari kesalahan yang sama di Venezuela untuk menunjukkan kepada pemilihnya di Florida.
Seperti diketahui, selama krisis Kuba tahun 1950-an dan 60-an, Uni Soviet bahkan mengirimkan rudal nuklir yang mengakibatkan krisis Teluk Babi. Rusia kini tampaknya memainkan game yang sama dengan mempersenjatai Venezuela.
Vladimir Putin bahkan sempat mengirim sepasang pembom strategis TU-160 ke Venezuela pada akhir tahun lalu. Pengiriman pembom nuklir ini jelas merupakan sinyal bagi AS bahwa Rusia dapat memberikan ancaman yang sama di benua Amerika. Sama seperti halnya AS yang menempatkan hulu ledak nuklirnya di benua Eropa.
Oleh karena itu, Rusia tetap konsisten mendukung Presiden Maduro yang memang terpilih secara demokratis, dan menentang keinginan AS dan sekutunya yang ingin menggulingkannya. Tidak mengherankan bila Putin mengerahkan penyebaran sistem rudal S-300 untuk menghadapi intervensi militer AS di Venezuela.
Penempatan S-300 merupakan jalan masuk Rusia ke Venezuela. Dengan alasan teknis, Presiden Putin dapat memberi perlindungan kepada Maduro dengan mengirimkan para “spesialis” ke negara Bolivarian tersebut. Misi para spesialis ini jelas, merawat alutsista dan melindungi properti Rusia di Venezuela. Dan sambil menyelam minum air, melindungi Maduro dari kudeta.
Presiden Putin sendiri telah mengaskan kembali dukungan politik, diplomatik dan militernya dengan mengirimkan dua pesawat yang membawa personel spesialis Rusia guna memberikan bantuan militer dan teknis ke Venezuela baru-baru ini. Putin juga mengatakan bahwa Rusia menghormati kewajibannya dalam melaksanakan pemeliharaan alutsista buatan Rusia di Venezuela, dengan memasok suku cadang dan membuat pusat pemeliharaan.
Sementara AS tampaknya memainkan pola yang sama terhadap Venezuela seperti halnya terhadap Kuba dengan memberlakukan sanksi ekonomi yang ketat terhadap Venezuela.
Situsai ini telah mendorong Rusia dan Cina terpaksa mengucurkan milyaran dolar untuk melindungi ekonomi Venezuela yang lumpuh. Untuk menembus sanksi tersebut, Rusia menggunakan cryptocurrency sebagai pengganti uang tunai dalam perdagangan, khususnya untuk pembayaran ekspor minyak. Hingga saat ini, perusahaan minyak terbesar Rusia, Rosneft, berhutang sekitar US$ 1,1 miliar untuk pengiriman minyak mentahnya.
Di balik hiruk pikuk politik, diam-diam perang perebutan penguasaan energi Venezuela yang kaya sedang berlangsung. Rusia dengan tenang menunggu kemungkinan AS memperketat sanksi terhadap Venezuela yang akan menyebabkan perusahaan-perusahaan energi Amerika yang sudah beroperasi selama satu abad hengkang dari negeri Simon Bolivar tersebut.
Saat ini, Washington masih memperpanjang lisensi bagi perusahaan-perusahaan AS untuk bertahan di Venezuela, yang kemungkinan tidak diperpanjang lagi pada bulan Oktober ini. Bila tidak diperpanjang, maka penarikan perusahaan-perusahaan AS dari Venezuela akan menjadi keuntungan bagi perusahaan-perusahaan energi Rusia dan Cina. Keduanya dapat menjalankan operasi turnkey untuk memompa cadangan minyak Venezuela yang sangat besar.
Presiden Trump tampaknya berada dalam posisi maju salah, mundur salah. Penarikan perusahaan-perusahaan AS dari Venezuela tentu akan memberi dampak ekonomi dan politik yang besar terhadap Florida.
Memblokade ekpsor minyak memang cara paling efektif untuk melumpuhkan ekonomi Venezuela. Tapi AS mengabaikan fakta bahwa Rusia dan Cina akan mendapat keuntungan berlimpah yang tentu akan berimbas kepada Presiden Maduro.
Bila AS memperketat sanksi dan menarik diri, bukan saja rugi besar secara ekonomi tapi juga rugi secara geopolitik. Bahkan Presiden Trump pun akan mengalami kerugian elektoral di Florida untuk meraih kemenangan untuk periode keduanya pada pemilu 2020 mendatang. So what next Mr Trump? (Agus Setiawan)