Puisi Alfia Nurul Hidayah
Sebab Hujan Aku Berdoa
Aku mencintai hujan seperti tanah yang basah
Tetes demi tetes yang membumi menengadah menampung doa-doa dan keinginan kepada sang pelukis hujan
Bulir-bulir hujan yang menempel di kaca jendela kamarku,
Mengisyaratkan sekecil itu aku di hadapan tuhanku, yang perlu kau tau hujan tidak mengutkmu sebab keresahanmu
Karena hujan petanda rindu pada tuhan kepada segala keberkahan rahmat dan keteduhan
Karena hujan bukan duka bukan pula malapetaka
Ku berdoa
Langit Begitu Menawan Hari ini, Katanya
Awan hitam, angin kencang daun kering berguguran, ranting-ranting rapuh patah bertebaran.
Nampaknya langit tak menunjukkan rupa menawan, atau karna pikiranku tak karuan ?Oh ini hanya sekadar gurauan, langit menawan hatiku tak karuan.
Membolak balikkan waktu, melipat jarak, mengingat-ingat pikiran tanpa ingatan, corat coret toilet. Pipis dicelana. Barangkali itu yang tejadi, penyair mendayu-dayu menulis syair. Aku mendaki-daki menunpuk aksara yang sebenarnya tak ada arti.
Lalu apa guna aksara bagiku, bila sederet aksara “langit megitu menawan hari ini” membingungkan pikirku. Membodohi kepintaranku. Birunya langit aku tak tau, awan putih halus aku tak tau, angin sepoi-sepoi aku tak tau, katanya.
Apa guna aksara bagiku, jika aksaraku selalu kau pertanyakan. Bungkamkah yang kau inginkan. Sunyi bukan temanku tapi ia setia bersamaku. Atau barangkali bungkam adalah pekerjaan yang baik.
Penyembuhan Luka Lalumu
Seperti inilah aku, jangan kau tunjukkan wajah terkejutmu ketika temui aku.
Beberapa hal yang harusnya kau tau.
Bahwa aku bukan dia sebagai bekas puanmu, dan kemolekanku terbatas.
Oh angin hembuskan napas kesadaran baginya, bahwa aku bukan orang lain, aku adalah aku. Yang berdiri dihadap dia adalah aku, bukan bayangan masa lalu.
Didepanmu tersaji parang beserta pemasah, apa gerangan yang akan kau lakukan. Membunuhku atau membunuh masa lalumu? Kuberitau padamu bahwa aku hadir karena masa kelammu.
Anggap aku ini adalah obatmu, mengobati luka masa lalumu, aku bersedia menyediakan waktu kapanpun untukmu.
Berebahlah dipangkuanku seakan-akan aku ibumu, ku belai rambut yang tidak lagi licin setelah kejadian itu,
Melodi itu semoga kau terlelap, bangun dan lupakan masa lalumu.
Di Ambang pilu
Kulihat sebuah jalan, menuju ke entah berantah
Pintu masuk yang diambang pilu, mengikis harapanku ke tujuanku. Tak ada ujung namun seperti suara menggema dari kedalaman palung.
Bunggg.. Jurang kehancuran
Alfia Nurul Hidayah Lahir di Karanganyar, 28 November 1996. Mahasiswa IAIN Surakata Jurusan Tadris Bahasa Indonesia.
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]