Berita UtamaEkonomi

Pemerintah Impor Cangkul, HKTI: Ini Lonceng Kematian Kedaulatan Pangan

NUSANTARANEWS.CO – Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri (Ditjen Daglu) Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah menunjuk PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI) yang berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN) agar merealisasikan impor perdana satu kontainer cangkul untuk diperjualbelikan di Indonesia.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (Waketum HKTI) Heri Gunawan, mengungkapkan bahwa kebijakan impor cangkul tersebut bisa dianggap sebagai pertanda “kematian” di sektor pangan nasional.

“Kalau cangkul saja musti impor, apa kata dunia? Ini seperti tanda-tanda, lonceng kematian kedaulatan pangan yang bukan semata-mata soal konsumsi yang berdaulat, tapi juga soal kedaulatan produksi,” ungkapnya di Jakarta, Senin (31/10/2016).

Padahal, Heri menegaskan, pada konteks kedaulatan produksi pangan, Pemerintah termasuk BUMN wajib mengokohkan industri penopangnya seperti industri alat-alat dan mesin pertanian dalam negeri.

“Memproduksi cangkul itu tidak perlu harus ke luar negeri. Bengkel-bengkel di Indonesia banyak yang bisa bikin,” katanya.

Baca Juga:  Rawan Ganggu Gula Lokal, Waspada Gula Impor Bocor di Daerah

Selama ini, Heri yang juga menjabat Anggota Komisi XI DPR RI ini mengatakan, ada cara berpikir yang sesat yang terjadi di BUMN. Pasalnya, tugas BUMN itu bukan hanya cari untung saja, tapi ada tugas penting lain, yaitu menjadi agen pembangunan.

Heri menilai, seharusnya Pemerintah dan BUMN punya komitmen yang sama, bagaimana menerjemahkan agen pembangunan lebih konkrit di lapangan. Menurutnya, dengan mengimpor cangkul, bukannya membangun malah membunuh industri alat-alat pertanian lokal.

“Coba bayangkan, jika kebutuhan cangkul yang 40-50 kontainer per bulan itu diserahkan kepada industri-industri lokal, ada berapa banyak industri lokal yang bisa bangkit? Ada berapa banyak nantinya bengkel-bengkel kita di dalam negeri yang kebanjiran order? Ujungnya, ada berapa banyak orang-orang lokal kita yang bisa berdaya? Kebutuhan itu mestinya menjadi peluang sekaligus stimulus untuk membangkitkan industri-industri penopang kita. Itu ekonomi riil,” ujarnya geram.

Heri menyebutkan, dari data yang ada, pemanfaatan alat pertanian hasil produksi lokal baru mencapai 30%. “Dengan tingkat kebutuhan yang tinggi karena lahan pertanian kita mencapai lebih dari 1,9 juta km persegi, maka harusnya ini secara simultan menjadi peluang untuk menggerakkan industri-industri alat pertanian lokal untuk terus berdaya. Apalagi aturannya sekarang ini sekitar 40-80% tingkat kandungan dalam negeri. Jadi tidak ada alasan yang kuat untuk importasi. Importasi justru harus dipandang sebagai jalan yang sesat dan menyesatkan,” ujar Heri yang juga Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerindra.

Baca Juga:  Anggota DPRD Nunukan Ini Berjanji Akan Perjuangkan Penguatan Insfratruktrur

Terkait hal ini, Heri menambahkan, Pemerintah musti berpikir lebih arif lagi. Tanpa itu, maka anggaran, khususnya untuk ketahanan pangan, yang terus ditingkatkan lebih dari 70% tidak akan benar-benar efektif.

“Dia akan terus menguap, hilang, dan mengalir ke luar negeri. Sedang kita hanya akan disisakan oleh masalah kedaulatan pangan yang setengah hati,” ungkapnya menyudahi.  (Deni)

Related Posts

1 of 9