NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pakar teknik kelautan Institute Teknik Bandung (ITB) mengatakan dirinya anti terhadap reklamasi teluk Jakarta. Belakangan, ITB gaduh menyusul klaim Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan yang seolah-olah alumni ITB mendukung pencabutan moratorium Reklamasi Teluk Jakarta.
Para alumni ITB pun meradang dan bersikap terhadap klaim dukungan tersebut. “Saya ahli teknik kelautan. Kalau ahli teknik kelautan saya pasti saya pro reklamasi dan saya pro giant sea wall. Karena itu kerjaan saya. Tapi saya sangat anti reklamasi dan juga giant sea wall,” ungkap Muslim Muin di Jakarta, Kamis (2/11)
Muin menerangkan alasan kenapa dirinya menolak reklamasi. Menurutnya, reklamasi dari sisi teknis sudah tidak menunjukan kemanfaatnya terhadap rakyat
“Dari segi teknis saja tidak masuk. Konsep tidak masuk, kok dilanjutkan. Kalau saya, saya akademisi. Kalau saya musuhi Pak Luhut downgrade,” terangnya.
Alumni ITB dalam pernyataannya di berbagai media mengatakan tidak pernah melakukan kajian dan merekomendasikan pencabutan moratorium reklamasi teluk Jakarta. Memang, Ridwan Djamaluddin yang notabene Ketua Alumni ITB merupakan bawahan langsung Menko Kemaritiman. Namun, alumni ITB menyebut pendapat dan rekomendasi Ridwan perihal pencabutan moratorium reklamasi teluk Jakarta adalah bagian pekerjaannya sebagai Deputi Menko bidang Kemaritiman, dan tidak ada relevansinya dengan posisinya sebagai Ketua Umum Ikatan Alumni ITB.
Muin menambahkan, aktor di balik kengototan reklamasi teluk Jakarta bukanlah Presiden Joko Widodo dan Luhut Panjaitan, melainkan taipan China yang ingin menancapkan dominasi ekonominya di Indonesia.
“Karena biang keroknya bukan Pak Luhut dan Pak Jokowi. Pemerintah hanya penyokong aja. Biang keroknya ada dua, taipan yang serakah atau pengusaha properti di teluk Jakarta. Dan nomor dua Belanda yang serakah,” jelasnya.
Muslim menyayangkan dampak dari reklamasi tersebut juga harus memindahkan PLTU yang ada di Muara Karang.
“Yang saya sayangkan, dari akibat reklamasi, kita harus pindahkan PLTU Muara Karang. Berapa puluh triliun itu, kita harus subsidi pengembang ini. Kurang serakah apa itu. Ada apa kita membela terus pengembang ini,” tanyanya.
Reporter: Syaefuddin Al Ayubbi
Editor: Eriec Dieda/NusantaraNews