Kebalikan dari materi Bahtsul Masa’il Munas NU 2019 di Banjar yang membahas non muslim bukan kafir tapi warga negara, saya sudah mempermasalahkan status kewarganegaraan kaum muslim radikal takfiri di beberapa tulisan saya dengan judul Dosakah Menjadi Indonesia (2017) dan Golput Takfiri (2019). Di setiap forum yang saya isi tentang HTI, saya sampaikan ke audiens persoalan status syar’i kewarganegaraan anggota HTI.
Karena berdasarkan pengalaman pribadi waktu menjadi pengurus HTI, saya dan teman-teman secara psikologis (ruhiyan wa bathinan) tidak menganggap Indonesia sebagai negara kami. Kami punya negara sendiri yaitu Khilafah yang sebentar lagi akan berdiri. Kami punya konstitusi sendiri. Kami punya pemimpin sendiri yaitu Amir Hizbut Tahrir. Dimana ketaatan, kepercayaan (tsiqah) dan loyalitas kami berikan.
Baca juga: Tentang Non Muslim Bukan Kafir
Suasana batin yang sama dialami juga oleh pengikut Al-Qaeda, NII dan ISIS. Ketiga kelompok radikal takfiri ini juga mempunya negara dan pemimpinnya sendiri. ISIS dan NII mengklaim telah punya negara. Sedangkan Al-Qaeda masih dalam tahap berjuang. Satu hal yang sama dari kelompok-kelompok radikal takfiri ini, mereka sama sekali tidak mengakui NKRI beserta seluruh perangkat pemerintahannya sebagai negara dan pemerintah mereka.
Bahkan mereka berjuang menggulingkan pemerintah lalu mengganti NKRI menjadi negara seperti yang mereka inginkan. Mereka sama sekali tidak mau memberi loyalitas kepada NKRI. Mereka muslim dan pribumi. Lahir, tumbuh besar, sekolah, kuliah, berkeluarga dan mencari nafkah di sini akan tetapi mereka bukan warga negara Indonesia.
Baca juga: Kafir Yang Islami dan Islamis Yang Kafir?
Mengapa demikian karena status kewarganegaraan berbeda dengan status keagamaan. Status keagamaan ditentukan oleh aqidah yang diyakini dan syariah yang dianut. Status keagamaan sangat pribadi dan berdimensi ruhiyah sehingga tidak terikat ruang dan waktu. Status keagamaan berkonsekuensi pada aturan-aturan agama (ibadah, akhlak dan muamalah). Status keagamaan tidak dipengaruhi oleh negara dan pemerintahan. Murni hubungan seorang hamba dengan Tuhannya.
Sedangkan status kewarganegaraan tidak berhubungan dengan agama seseorang. Ini status politik yang ditentukan oleh dua hal: tempat tinggal (muqimah) yang digunakan untuk menetap dan loyalitas (wala’) kepada negara dan pemerintah. Status kewarganegaraan terkait hak dan kewajiban warga terhadap negaranya. Status ini banyak berhubungan dengan kehidupan seseorang di ruang publik. Memisahkan status agama dan status kewarganegaraan penting karena dua hal ini berbeda meskipun tidak bertentangan.
Baca juga: Kafir-Kafir di Negeri Kafir
Forum Bahtsul Masa’il NU kembali menunjukkan kelasnya sebagai forum ilmiah yang bermutu tinggi di Munas Banjar yang baru usai. Setelah membahas status Indonesia sebagai Darul Islam di Muktamar Banjarmasin 1936, 9 tahun sebelum Indonesia merdeka, di Munas Cianjur 1954 NU mengukuhkan emimpin Indonesia sebagai waliyul amri dharuri bi syaukah di tengah polemik tentang DI/TII dan Imamul A’zham, NU di Munas 1983 menerima Pancasila sebagai asas tunggal, di Munas 2019 NU menyegarkan kembali pemikiran umat Islam dengan melontarkan ide non-muslim bukan kafir, mereka warga negara.
Pembahasan non-muslim jangan disebut kafir karena mereka warga negara merupakan ide cerdas dari pemikiran jernih para kiai NU dalam memahami fakta non-muslim dalam sejarah NKRI, fakta fiqih siyasah klasik serta trend radikalisasi makna konsep-konsep Islam akibat maraknya gerakan radikalisme. Radikalisme sedikit demi sedikit berhasil menggeser makna konsep-konsep Islam dari tempat asalnya. Oleh para kiai NU, makna-makna tersebut mau dikembalikan ke tempatnya asalnya secara tepat sehingga tidak menimbulkan kekacauan ilmu pengetahuan Islam mulai dari lapis epistemis sampai ke tataran praktis.
Perlu diingat, kekacauan persepsi umat Islam terhadap konsep-konsep dasar agama mereka membawa implikasi kepada kekacauan pemikiran umat dalam merespon problematika mereka kemudian berujung kepada kekacauan amaliah mereka. Pengkategorian negara dan warga negara menurut fiqih siyasah klasik tidak akurat jika digunakan untuk fakta Indonesia. Indonesia didirikan oleh bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan agama.
Indonesia bukan tanah kharajiah yang pernah ditaklukkan oleh khilafah Islam. Indonesia juga bukan lahir dari gerakan separatisme dari khilafah layak negara-negara Arab modern. Umat Islam Nusantara memeluk Islam secara sukarela sehingga status tanah Indonesia adalah tanah ‘usyriyah, tanah yang tetap dimiliki pribumi sampai hari kiamat, baik muslim maupun non-muslim. Status tanah ‘usyriyah yang sama seperti jazirah Arab.
Baca juga: Ahok Geram Disebut Kafir Dalam Persidangan
Sebab itu Indonesia darul Islam tapi bukan daulah Islamiyah. Negara-negara lain tidak bisa disebut darul harb sepenuhnya. Indonesia menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara muslim maupun non-muslim. Indonesia terikat perjanjian damai dengan negara-negara tersebut. Jadi sangat tepat kiranya NU mencetus satu paradigma baru tentang negara dan kewarganegaraan. Sangat dimengerti jika memancing pro kontra di tengah masyarakat khususnya ulama dan tokoh umat karena mereka masih memaknai kata kafir dalam perspektif aqidah (teologi) padahal NU membahasnya dalam konteks fiqih siyasah. Salah besar komentar beberapa tokoh yang mengatakan NU mau mengamandemen al-Qur’an. Yang dilakukan NU justru ingin mengembalikan makna kata ‘kafir’ ke tempat asalnya yakni aqidah setelah sempat digeser oleh kaum radikal menjadi bermakna politis.
Inti dari ide NU tersebut adalah jangan mengkafirkan warga negara non-muslim karena sesama warga negara semua orang berkedudukan sama terlepas dari agama yang dianutnya. Dalam pandangan Islam kewarganegaraan ditentukan oleh loyalitas (wala’) seseorang kepada negara dan pemerintah bukan oleh aqidah yang diyakininya. Dalam Piagam Madinah yang dianggap konstitusi negara Islam pertama, Rasulullah saw menggunakan kata ‘Yahudi’ bukan kata ‘kafir’ untuk suku-suku yahudi di sana. Dikemudian hari suku-suku yahudi tersebut diperangi karena mereka melepas loyalitas sebagai warga negara dengan cara berkhianat dan bersekongkol untuk menghancurkan negara Madinah. Di masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, kaum Khawarij hilang hak-hak politik mereka sebagai warga negara setelah mereka melepas loyalitas mereka terhadap khalifah dengan cara memberontak.
Terakhir, kita harus bersabar menghadapi nyinyiran pihak-pihak yang salah menempatkan kata ‘kafir” utamanya kaum radikal. Bagi mereka jangankan non-muslim, muslim pun mereka kafirkan. Harap maklum.
Oleh: Ayik Heriansyah, Pengurus LD PWNU Jabar