NusantaraNews – Kalau semua tuntutan Comsky CS dari IWAP itu dipenuhi, sama persis dengan tuntutan merdeka Organisasi Papua Merdeka (OPM). Mengapa tidak minta memisahkan diri saja dari NKRI? Minta merdeka, tapi gratisan. Itu yang tak ada jalannya. Indonesia tak punya UU Referendum. Jadi kalau mau merdeka, memberontak saja! Maka, para profesor yang bikin surat terbuka itu lebih efektif, membelikan senjata canggih yang cukup untuk OPM agar menang melawan Republik Indonesia. Ajaklah negara-negara penyokongnya untuk membackup atau jadi bagian langsung pemberontakan. Militer kami juga perlu latihan perang sungguhan.
Narasi sudah tak perlu. Useless. Karena Indonesia tak punya UU Referendum, UU Nomor 5 Tahun 1985, sudah lama dicabut. Sudah selesai fase narasi-narasian itu.
Berani perang tidak? Itu subtansi! Kalau tak berani, nyerah saja, atau jadi KKB yang pekan lalu terbunuh ketika TNI dan Polri membebaskan 1.300 orang yang disandera OPM.
Tahun 2002, orang-orang Irian Barat datang ke Ketua MPR Prof Amien Rais untuk menyatakan bahwa mereka bukan Bangsa Indonesia. “Lihat kulit kami, bahasa kami, tampang kami, rambut kami bahwa kami bukan Bangsa Indonesia”, kata mereka.
Karenanya mereka minta keluar dari Bangsa Indonesia. Saya pun yakin, mereka bukan Bangsa Indonesia, sama dengan Cina. Sementara Indonesia dibentuk berdasarkan nation state (negara bangsa) yang dinyatakan dalam Declaration Of Independence (Proklamasi 18 Agustus 1945), melainkan Inlander menurut Indische Staatregeling 163, bumiputera yang terjajah Royale Dutch. Tak ada Cina dan Papua di situ.
Sebab, Presiden John F Kennedy yang minta Belanda keluar dari Irian Barat, 1961, dengan ancaman akan menyetop bantuan Marshall Plan jika Belanda bersikeras. Kini, kalau Timor Leste bisa dilepas, mengapa Irian Barat tidak? Untuk mengurangi beban berat Bangsa Indonesia.
Cuma tak ada jalannya. Kecuali perang. Kemerdekaan memang tak gratis. Indonesia untuk merdeka juga kehilangan jutaan nyawa. Lalu apa masalahnya ketika orang Irian Barat kehilangan nyawa ketika mereka menyatakan mau merdeka? Tak ada! Jangan minta Indonesia memberi gratis kemerdekaan bagi Papua. Tak ada itu! Tak ada yang seperti itu di muka bumi. Bahkan Catalonya, tokohnya harus diburu!
Sumbangan Papua bagi pembangunan Indonesia, tak banyak. Klaimnya saja seolah Papua barang strategis. Padahal cuma urusan Freeport Mac Moran, yang sebagian besar pendapatannya masuk ke kantong koruptor yang diciptakan Freeport sendiri, sejak dari pihak keamanan, petualang politik, pejabat korup, hingga komisaris hantu.
Belakangan malah oleh Presiden Jokowi, negara harus membeli saham Freeport Rp 40 triliun, sedang Freeport minta 4 kalinya, termasuk di situ nilai emas tembaga yang masih di dalam perut bumi. Untuk apa Irian Barat masuk NKRI, kalau negara harus membeli perut buminya sendiri?
Inalum yang mau beli, karenanya Menteri BUMN Rini dan Menteri Keuangan Sri Mulyani bikin 4 perusahaan jadi holding, nanti akan dibeli China Resources dari Inalum. Dari situ juga biayai pemilu/ pilkada / pilpres cost ruling party. Itu feenya alias ICORnya. Metaforanya, lebih banyak diserap talang yang bocor. Faktanya, total sumbangan pertambangan ke APBN, kurang dari 5%. Cuma itu, dan tak penting.
Hanya itu harga Papua untuk Indonesia, tak lebih. Tolong sampaikan itu ke Prof Noam Chomsky: tak ada kemerdekaan yang gratis!
Penulis: Djoko Edhi Abdurrahman (mantan Anggota Komisi Hukum DPR, Wasek Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Nahdmatul Ulama, PBNU).