NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia, Ferdinand Hutahaean menilai bahwa PT Freeport Indonesia resmi mempecundangi Indonesia dengan kemenangan sempurna. Bahkan, katanya, negara akhirnya kalah dalam segala hal.
“Freeport bebas ekspor mineral mentah, Kontrak Karya tetap berlaku untuk kepastian investasi, namun IUPK diterbitkan untuk mengakali dan mensiasati UU MINERBA No 4 Tahun 2009 agar Freeport bebas ekspor mineral. Inikah bangsa yang katanya dipimpin orang hebat dan dipuji-puji oleh sebagian orang yang buta mata buta hati?,” kata Ferdinand dalam catatan analisinya yang diterima, Rabu (5/4/2017).
Ferdinand menyampaikan bahwa, beberapa waktu lalu Energy Watch Indonesia sudah mengingatkan agar mewaspadai siapapun yang pura-pura nasionalis. “Saya sebut nasionalis abal-abal yang seolah berpihak dan membela negara atas Freeport. Fakta sekarang kemudian terjawab, Freeport memenangkan pertarungan dan kita tetap menjadi bangsa bodoh yang mana pemerintahnya mensiasati dan mengakali aturan yang ada,” ujarnya.
Padahal, kata Ferdinand, Sumpah Presiden menyatakan akan melaksanakan Undang-undang selurus-lurusnya. Kejadian yang diberikan kepada Freeport adalah bukan melaksanakan UU selurus-lurusnya tapi mengakali, mensiasati dan melanggar UU.
Ia menegaskan bahwa ketidakadilan telah ditunjukkan pemerintah dalam mengurus negara. “Disamping ketidak adilan, jelas pemerintah juga terlihat nyata hanya sedang beretorika dengan kata-kata terkait Freeport. Pemerintah gagal fokus mengurus masalah Freeport,” kata dia.
“Kami tidak mengerti maunya pemerintah ini apa, tidak jelas arahnya mau bagaimana terkait masa depan Freeport. Namun jelas terlihat adanya agenda kepentingan luar biasa besar dalam kepastian masa depan Freeport ini. Berulang kali pemerintah bicara tentang divestasi saham hingga 51%, terdengar heroik dan nasionalis. Padahal disini masalahnya besar luar biasa,” sambung Ferdinand.
“Kita tidak punya kemampuan financial untuk membeli divestasi 51%, lantas dari mana sumber dana penerintah membelinya? Inipun tidak jelas. Mungkin pemerintah sudah mengantongi calon pembeli,” lanjutnya.
Ferdinand menguraikan, di sini letak masalahnya, para broker dan mafia akan gentayangan. Mengandalkan BUMN Indonesia untuk divestasi? Sepertinya tidak ada BUMN dalam negeri yang mampu. “51% divestasi setelah sekarang baru hampir 10% yang kita kuasai, artinya ada 41% yang harus dibayar dengan perkiraan nilai setidaknya akan ditawarkan Freeport sebesar 7 hingga 8 Milliar Dolar. Terbukti bahwa divestasi tahap kedua yang ditawarkan Freeport tahun lalu sebesar 10% hingga kini tidak jelas apakah bangsa ini akan membeli divestai tersebut atau tidak. Negara yang aneh,” ungkapnya.
Ferdinan mempertanyakan maksud pemerintah selalu mengampanyekan divestasi 51%, padahal bukan itu fokus yang harus diurus dengan Freeport. “Jika Freeport tidak kita perpajang pasca 2021, bukankah Freeport itu kembali ke kita dan kita dapat 100% tanpa perlu divestasi? Lantas mengapa harus mengeluarkan uang besar untuk 51% jika kita bisa dapat 100% dengan gratis? Tinggal kita yang mengelola secara utuh dan mandiri,” katanya.
Bagi dia, Pemerintah telah salah dan berpura-pura nasionalis. Pemberian IUPK dan sekaligus Kontrak Karya masih berjalan adalah bentuk pelanggaran serius. IUPK diberikan agar ekspor mineral bebas, dan Kontrak Karya berlaku demi kepastian investasi. Aturan mana yang membenarkan berlakunya kedua aturan tersebut secara bersama-sama?. Padahal, katanya, PP No 1 tahun 2017 itu adalah produk penerintah, UU no 4 tahun 2009 adalah produk negera, tapi semua dilecehkan tanpa merasa bersalah oleh Pemerintah.
“Pemerintah kami minta untuk kembali kepada aturan yang ada. Kembalikan Freeport kepada rejim Kontrak Karya hingga 2021, lakukan negosiasi tentang peningkatan royalty dan pajak-pajak serta penerimaan negara lainnya, negosiasi pembangunan smelter harus selesai dalam 3 tahun, baru kemudian bicara divestasi saham. Skala prioritas harus jelas, jangan serampangan mengurus isu-isu Freeport. Jika Freeport tidak bersedia meningkatkan Royalti dan pemasukan lainnya bagi negara, maka sebaiknya segera diputuskan bahwa 2021 kotrak karya Freeport berakhir. Kita kelola tambang Greasberg itu secara mandiri demi kemakmuran bangsa,” harapnya.
“Sekali lagi kita minta agar pemerintah jangan menjadi pecundang terhadap Freeport. Tegakkan harga diri dan martabat bangsa yang tidak tunduk dan tidak menjadi pelayan bagi asing. Kembalikan Freeport ke kontrak karya dan cabut IUPK segera. Negosiasi secara baik dan tepat terkait isu pasca 2021. Berhentilah berpura-pura nasionalis padahal sesungguhnya adalah budak asing,” tegas Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia itu.
Pewarta/Editor: Achmad Sulaiman