~ Refleksi Harlah NU ke 92 (Bagian 1) ~
Hari ini, 31 Januari 92 tahun yang lalu Nahdlatul Ulama (NU) didirikan oleh para ulama di bawah pimpinan KH. Hasyim Asy’ari. Pendirian NU bisa dikatakan sebagai respon para ulama dan ummat Islam Nusantara atas kondisi sosial politik yang terjadi pada saat itu.
Berdirinya NU tidak bisa lepas dari peran mbah Wahab Chasbullah sebagai operator lapangan yang membentuk tiga organisasi pergerakan sebagai embrio NU yaitu Nahdlatul Wathon (NW), Tashwirul Afkar atau Nahdlatul Fikr dan Nahdlatul Tujar.
NW didirikan oleh mbah Wahab bersama dengan Kyai Mas Mansur (tokoh Muhammadiyah) pada tahun 1916 (Anam, 2010). Menurut Martin Van Bruinessen (1994; 35) NW merupakan lembaga pendidikan agamis bercorak nasionalis modernis yang pertama di Nusantara.
Sebelumnya, pada tahun 1914 sepulang dari Makkah, mbah Wahab mendirikan Tashwirul Afkar yang sering juga disebut Nahdlatul Fikr. Perkumpulan ini merupakan wahana pendidikan politik santri, terutama yang terkait dengan gerakan pemikiran untuk mendialogkan antara agama (Islam) dan kebangsaan.
Meski sudah ada SDI dan SI namun sebagai langkah taktis dan strategis mbah Wahab mendirikan Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan para pedagang) pada tahun 1918. Selain untuk menghimpun para pedagang santri yang tidak terakomodir dalam SDI dan SI, pembentukan Nahdlatut Tijjar juga dimaksudkan untuk mengantisipasi jika terjadi sesuatu hal yang dilakukan oleh pemerintah kolonial terhadap SDI maupun SI karena langkahnya yang terlalu politis.
Untuk membangkitkan spirit kebangsaan, mbah Wahab juga mengarang lagu yang berjudul Subbanul Wathan yang syairnya berisi rasa bangga dan cinta tanah air serta spirit merebut kemerdekaan. Dalam lagu tersebut dinyatakan “Indonesia Negriku, engkau Panji martabatku”. Syair lagu ini dibuat dalam bahasa Arab sebagai siasat agar pemerintah Belanda tidak faham artinya. Lagu ini dinyanyikan para santri setiap memulai melakukan kegiatan.
Jelas di sini terlihat sebelum peristiwa Sumpah Pemuda yang menyatakan bertanah air Indonesia, kaum santri sudah lebih dulu mendeklarasikan Indonesia sebagai tanah air sebagaimana tertulis dalam syair lagu “Syubbanul Wathan” karya mbah Wahab Chasbullah.
Sayangnya para sejarawan Barat-Modern kurang banyak mengeksplorasi peran kaum santri dalam gerakan Nasional, padahal ini merupakan momentum penting karena menjadi akar terbentuknya integrasi atara Islam dan Nasionalisme di Indonesia. Dalam penelitiannya, Kahin pernah menyebut peran agama dlm pembentukan spirit nasionalisme di Indonesia, namun hanya sekilas dan tidak ditujukan pada gerakan kaum santri atau pesantren (Kahin, 1952/20013)
Selain respon terhadap kondisi sosial politik di Hindia Belanda, berdirinya NU juga untuk melawan gerakan puritanisme dan fundamentalisme agama kaum Wahabi yang mengancam trafidisi keagamaan faham Ahlussunnah Waljamaah yang dianut oleh mayoritas ummat Islam Nusantara.
Untuk membendung gerakan Wahabi yang puritan dan anti tradisi ini, para ulama membentuk tim yang disebut Komite Hijaz, diketuai oleh KH. Wahab Chasbullah. Tim ini bertugas melakukan loby dan negosiasi dengan Raja Arab yang melakukan persekusi terhadap ulama-ulama yang tidak sepaham dan berencana menghancurkan beberapa situs penting dalam sejarah Islam.
Sejarah singkat ini menjukkan, spirit perjuangan NU adalah melawan tirani, baik tirani negara yang dicerminkan oleh pemerintah kolonial maupun tirani agama yang tercermin dalam gerakan puritanisme agama kaum Wahabi. Spirit ini yang membentuk cara pandang dan pemahaman ulama dan ummat NU yg kemudian menjadi habitus karena tertanam secara otomatis (built in) dalam kesadaran ummat NU.
Inilah yang menyebabkan ulama dan ummat NU bisa menerima NKRI dengan Pancasila sebagai dasar negara, setelah melalui perdebatan panjang dan pertimbangan mendalam dari perpeltif Islam. Artinya penerimaan ini tidak semata langkah taktis politis, tetapi merupakan ekspresi ideologis-teologis. Bagi NU Pancasila dan NKRI adalah hasil ijtihad para ulama agar ummat Islam bisa menjalankan syariah secara aman, nyaman dan damai.
Sikap ideologis NU terhadap Pancsila dan NKRI ini dibutikan dengan keteguhan NU dalam menjaga dan mempertahankan Pancasilaeski harus menerima fitmah, caci maki bahkan ancaman fisik terhadap para ulama dan ummat NU.
Ketehasan dan sikap istiqomah NU dalam melawan tirani dan mempertahankan Pancasila dan NKRI bisa dilacak sejak peristiwa Reoslusi Jihad mengjadapi gempuran sekutu, melawan rongrongan PKI dan memberikan fatwa “bughot” (makar) kepada kelompok yang memgancam kedaulatan NKRI sekalipun hal itu dilakukan atas nama Islam dan menggunakan simbol Islam (DI/TII, PRRI, Permesta). (Bersambung)
Penulis: Al-Zastrouw (Zastrouw Al Ngatawi), penulis merupakan budayawan Indonesia. Pernah menjadi ajudan pribadi Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid. Juga mantan Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) PBNU periode 2004-2009.