m o n t a g e
sementara gerimis masih netes
bunyi klakson di jalan itu nampak tergesa
tinggallah sayup suaramu tak sampai
–apa lagi yang hendak kubilang
malam kian licin, sayang.
tiba-tiba ponselmu dan milikku bergetar bisu
menyembunyikan bunyi pada piring-piring
dan gelas yang malu-malu di atas meja
yang juga bisu. sementara gerimis masih netes
gantilah bir itu dengan air teh hangat kuku.
kau tak akan terlambat pulang, sayang
biar kuantar sampai depan pagar.
dan anak kecil itu menembang
ukulele dan syair-syair pilu yang digubahnya
menjadi doa. matanya berlapis kaca sebentar lagi
pecah, kiranya malam akan tambah licin.
sudilah mampir biar kuusap tanganmu gigil.
sementara gerimis masih netes
dari arah lain sayup-sayup terdengar suara
pemain stand-up comedy mengemis tawa
: seorang pengusaha kepada istrinya ijin lembur
untuk simpanannya di kantor
dengan senang hati istrinya pun mengijinkan
untuk seokor sapi sebelah yang kepincut rumput
di rumahnya.
aku lupa merk jam tanganku keluaran mana
detik-detik diretasnya lebih sering mundur
berbagai peristiwa yang sudah nyenyak kembali
didengkurkannya. tapi ini memang sudah larut
angin lebih dingin sementara gerimis masih netes
air teh hangat kukumu menguap dan gelasku
yang beku tak sanggup lagi menampung waktu.
kau ingin pulang
mari kuatar.
sepanjang jalan;
tidaklah mudah menyebrang samudera dengan ombak
yang lebih besar dari sampanmu dan arus yang
melebihi deras ayun dayungku. tetapi dengarlah
ucap seorang nelayan tua: tak ada yang dapat kami
banggakan dari lautan yang terlalu tenang.
biarlah oleng, sayang
pecah bulan dalam ombak lautan[1]
tidak pernah membuatnya putus asa kepada
malam dan ingin segera berlalu. biarlah oleng
hidup hakiki hidup yang indah dari berbagai sisi.
sementara gerimis masih netes
jalanan mulai sepi hanya menyisa suara
sampanmu dan dayungku beradu.
kau lihat itu gedung-gedung berdiri kaku
menjebak orang-orang dalam aktifitas yang
juga kaku. sementara langit makin dekat
mereka menjauh dan kian jauh.
mantelmu akan segera kuyup.
sesampainya di depan pagar
kembali bergetar ponselmu yang baru saja siuman
pelan-pelan berbunyi menggantikan bel rumahmu
yang berkali-kali mati. dan tahukah
nada dering yang kupakai sepanjang jalan aku pulang:
rekaman peristiwa yang kucuri dari segala igau!
Bandung, 2012
[1] Penggalan Sajak “Akan Ke Manakah Angin” Karya MH. Ainun Najib.
Simak:
Sebuah Toko Sebuah Buku dan Cerita yang Terselip
Karikatur di Atas Wastafel
Sipulan K. Langka, Alumnus STSI Bandung. Pelaku seni, pimpinan teater Kalangka Madura. Kini Mukim di Sumenep.
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].