Belakangan ini pemerintah dan kaum intelektual diramaikan oleh pembahasan mengenai manfaat dan potensi ancaman dari bonus demografi yang diramalkan tidak lama lagi akan terjadi di Indonesia. Bonus demografi menjadi fokus bahasan yang tidak hanya menarik, tapi juga penting karena sangat menentukan kelangsungan hidup dan kejayaan bangsa Indonesia.
Istilah bonus demografi sendiri secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah kondisi dalam hal mana jumlah penduduk usia produktif lebih banyak dibandingkan usia non-produktif. Komposisinya kurang lebih 70 berbanding 30 persen. Artinya, jika jumlah penduduk Indonesia 250 juta jiwa, 175 juta diantaranya akan berada pada usia produktif. Kondisi ini diprakirakan akan terjadi pada tahun 2020-2030.
Bonus demografi disambut gembira khususnya oleh pemerintah karena jumlah penduduk usia produktif yang gemuk dapat menjadi katalisator dan pengakselerasi pembangunan. Namun demikian, tak dapat dimungkiri juga menimbulkan kekhawatiran, karena kesalahan dalam mengelola bonus demografi dapat berpotensi menimbulkan bencana demografi seperti kemiskinan, kriminalitas, pengangguran, serta rendahnya daya saing bangsa.
Dalam tulisan ini, penulis tidak bermaksud untuk menginterupsi hiruk-pikuk diskursus mengenai bonus demografi. Penulis hanya hendak mengajak semua pihak berkontemplasi, bahwasannya apabila benar diskursus mengenai bonus demografi ditujukan untuk kejayaan dan kemaslahatan bangsa, maka tentu tidak bisa berdiri sendiri. Ada faktor-faktor lain yang berperan sebagai penopang bahkan prasyarat untuk menyukseskannya, seperti pengelolaan sumber kekayaan alam yang baik, tata kelola pemerintahan yang bersih, perumusan kebijakan yang efektif dan efisien, bahkan dukungan dari bangsa dan negara lain.
Konvensi Montivideo pada tahun 1933 menyebutkan bahwa suatu entitas disebut sebagai negara apabila memenuhi beberapa persyaratan. Diantaranya memiliki wilayah, penduduk, pemerintah, serta pengakuan kedaulatan dari bangsa dan negara lain. Singkat kata, eksistensi dan kejayaan suatu bangsa dan negara tidak terlepas dari empat pilar pokok yang termaktub dalam konvensi tersebut. Antara satu pilar dengan pilar yang lain, terkait dan terikat satu sama lain.
Hemat penulis, mungkin saja kita lupa atau bahkan terlena. Negeri ini sibuk menyongsong sebuah bonus, tapi lupa bahwa bonus lainnya sudah di tangan dan cenderung belum dioptimalkan pemanfaatannya. Kita lupa bahkan sebelum kemerdekaan sekalipun, Indonesia sudah dianugerahi oleh Yang Maha Kuasa bonus geografi yang tak ternilai harganya.
Ada nyanyian yang penulis selalu dengar sewaktu kecil, “Tanah kita tanah surga, tongkat, kayu dan batu jadi tanaman“. Lirik lagu tersebut adalah sebuah pujian dan kesadaran bahwa Indonesia adalah negara yang sangat kaya. Posisi yang terletak di antara dua benua dan dua samudera menempatkan Indonesia dalam posisi geopolitik yang sangat vital di kawasan, tidak hanya Asia Tenggara, tapi juga Asia Pasifik. Indonesia juga memiliki sumber kekayaan alam yang luar biasa. Kekayaan tambang Indonesia bahkan menjadi magnet yang mengundang korporasi-korporasi asing untuk berlomba-lomba mengeruk kekayaan tersebut. Hutan-hutan tropis di Indonesia tidak hanya menjadi ladang kehidupan bagi manusia, tapi juga habitat bagi ratusan spesies hewan dan tumbuhan.
Indonesia sejak dulu kala disebut sebagai nusantara, sebuah istilah yang menggambarkan bahwa negeri ini tidak hanya terdiri atas daratan-daratan saja, tapi juga disusun oleh perairan-perairan. Perairan yang total jenderal hampir meliputi 2/3 wilayah nusantara bahkan menjadi amunisi utama untuk mewujudkan mimpi pemerintah republik ini menjadi poros maritim dunia. Memang benar bahwa secara atributif Indonesia merupakan negara bahari atau maritim. Tapi untuk disebut sebagai poros maritim, masih dibutuhkan ikhtiar yang lebih. Setidaknya pemerintah saat ini, sudah meletakkan mimpi tersebut dalam sebuah visi, strategi, serta kebijakan yang jelas, on the right track.
Keunggulan geografis Indonesia tersebut haruslah dikelola dengan lebih baik dan optimal agar memberikan keuntungan yang lebih maksimal dalam bentuk kesejahteran yang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa kecuali. Kayanya perairan akan ikan-ikan bernutrisi tinggi, harus bisa menjadi asupan gizi agar masyarakat Indonesia lebih cerdas. Kayanya hutan-hutan Indonesia akan pohon-pohon berkualitas tinggi, harus bisa menjadi bahan baku yang murah untuk rumah-rumah rakyat. Hasil-hasil pertambangan yang melimpah ruah harus mampu menjadi devisa yang meningkatkan daya saing masyarakat dan negara di panggung internasional. Melimpahruahnya hasil pertanian dan perkebunan harus mampu membuat perut rakyat kenyang.
Dalam tataran kebijakan strategik, geografi merupakan landasan dan titik tolak dalam menyusun kebijakan dan keputusan di bidang politik, ekonomi, strategi dan diplomasi. Oleh sebab itu jamak kita dengar istilah geopolitik, geoekonomi, geostrategi, hingga geodiplomasi. Dengan berpijak pada atribut nasionalnya sebagai bangsa bahari, Indonesia misalnya, harus memiliki politik-ekonomi yang berbasis pengembangan sumber daya maritim untuk menyokong perekonomian nasional, serta strategi dan diplomasi yang berbasis kalkulasi akan kapasitas dan kapabilitas sebagai bangsa maritim tersebut. Khusus untuk strategi dan diplomasi maritim, sebagai sebuah perbandingan, kemajuan Tiongkok dari sisi militer dan ekonomi sangat ditentukan oleh kesadaran mereka sebagai sebuah bangsa maritim.
Pengelolaan bonus geografi seyogyanya juga diikuti dengan sikap kewaspadaan nasional yang tinggi. Kekayaan sumber daya alam kadangkala menjadi sebuah kutukan. Alih-alih memberikan kemakmuran dan kesejahteraan, justru mendatangkan bencana. Perang saudara, kolonialisme dan imperialisme merupakan bentuk-bentuk kutukan tersebut. Pengalaman Indonesia dijajah oleh Belanda selama 350 tahun dan Jepang selama3,5 tahun merupakan bukti bahwa kutukan tersebut bukan mitos belaka. Kontradiksi antara kekayaan alam dan kemiskinan yang menggelayuti negara-negara Afrika saat ini setidaknya menjadi pembelajaran untuk berhati-hati dalam menjaga kedaulatan wilayah nasional.
Kesadaran yang baik dengan diikuti oleh kemauan dan langkah-langkah yang tepat dalam mengelola bonus geografi akan memberikan konfidensi yang tinggi bagi seluruh elemen negeri ini untuk menyongsong bonus demografi yang dinanti-nanti. Pengelolaan bonus geografi secara optimal akan menjadi logistik yang tak ternilai untuk menjalankan roda pembangunan nasional. Menjadi amunisi untuk menyediakan sarana dan prasarana pendidikan serta lapangan pekerjaan bagi penduduk usia produktif Indonesia saat bonus demografi datang nantinya. Insyaallah bangsa dan negara ini semakin jaya. Itu sudah menjadi harapan dan cita-cita kita semua.
Penulis: Boy Anugerah, Pengurus DPP PA GMNI