NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Usulan menunda pertemuan tahunan IMF-World Bank di Nusa Dua, Bali mengemuka. Ini tak lepas dari kondisi Indonesia yang tengah dilanda duka akibat bencana alam yang menerjang wilayah NTB dan Sulawesi Tengah. Meski penundaan hampir tak mungkin terjadi, usulan tersebut datang dari berbagai pihak.
Pengamat ekonomi Salamuddin Daeng memandang ada dua alasan penting mengapa IMF dapat menunda pertemuan tahunan IMF-World Bank di Bali pada 8-14 Oktober 2018.
Pertama, alasan kemanusiaan. Menurutnya, seluruh dunia tahu Indonesia sedang ditimpa bencana bertubi-tubi. Seluruh dunia juga tahu betapa respon pemerintah dalam menangani korban bencana dan dampak bencana amat sangat lamban dan kemampaun dalam menghadapi bencana sangat lemah baik dari sisi keuangan, peralatan dan tenaga manusia.
Baca juga: Rocky Gerung: Apa yang Akan Disampaikan Presiden RI di Forum IMF-World Bank Nanti?
“Ribuan orang masih tertimbun dalam bumi dan reruntuhan gempa Palu. Puluhan ribu orang sedang merenggang nyawa, kekurangan obat obatan, air bersih dan makanan, menunggu uluran tangan Pemerintah. Bala bantuan yang datang tak sebanding dengan kebutuhan masyarakat. Bahkan untuk sesuap makanan ada yang menjarah ditengah ketakutan ditangkap aparat,” papar Salamuddin melalui keterangan tertulis, Jakarta, Sabtu (6/10/2018).
Korban gempa Lombok tak kalah menderita. Ratusan ribu orang masih mengungsi di tenda-tenda darurat di Lombok dan Sumbawa karena gempa masih terus terjadi. Hidup di dalam tekanan trauma yang mendalam tanpa ada penanganan yang memadai dari pemerintah.
“Bantuan Rp 50 juta untuk setiap rumah yang rusak berat belum direalisasikan oleh pemerintah,” katanya.
Salamuddin mengungakapkan bahwa komunitas internasional sampai kebingungan, mempertanyakan bagaimana cara membantu korban gempa di Palu dan Lombok. Mereka menyaksikan dari media sosial betapa dahsyatnya kedua gempa ini, dan betapa menderitanya korban gempa.
Baca juga: Menko Luhut: Peserta Pertemuan Tahunan IMF-World Bank Sekitar 32 Ribu Orang
“Rupanya pemerintah tidak memiliki infrastruktur yang memadai dalam menjawab solidaritas internasional atas bencana gempa ini. Pemerintah juga tidak berterus terang tentang masalah yang dihadapi kepada rakyat dan kepada komunitas internasional,” ungkap Salamuddin.
Kedua, kondisi ekonomi Indonesia yang tengah sekarat. “Ekonomi Indonesia tengah sekarat, bunga hutang pemerintah terancam tak terbayarkan, hutang baru pemerintah sulit diperoleh dikarenakan masalah nilai tukar rupiah yang rontok. Indonesia berada satu kontingen krisis bersama Turki dan Argentina dikarenakan defisit neraca eksternal yang bersifat permanen,” terangnya.
Bahkan, kata dia, menjelang pertemuan IMF dan di depan mata lembaga keuangan internasional itu sendiri mereka menyaksikan rupiah rontok dengan cepat dalam minggu minggu menjelang pertemuan IMF.
“Seharusnya, rupiah menguat menjelang pertemuan lembaga keuangan multilateral yang paling berpengaruh ini, namun yang terjadi sebaliknya. Pelaku pasar boleh jadi tidak menganggap penting pertemuan IMF tersebut, dan tidak melihat ada hubungannya dengan mengatasi krisis keuangan Indonesia,” beber Salamuddin.
Sementara IMF tidak dalam kapasitas dapat menangani masalah keuangan dan moneter yang dihadapi Indonesia. Bagi IMF, kata peneliti AEPI ini, reformasi ekonomi Indonesia sudah selesai. Reformasi sektor keuangan Indonesia sudah selesai dan tidak ada urgensinya ikut campur dan apalagi memberikan bantuan keuangan.
“Tentu IMF tidak mau mempertaruhkan kredibilitasnya. IMF tahu persis bahwa Indonesia tidak memiliki kemampuan keluar dari jebakan krisis dan pelemahan curency. IMF tidak mungkin mau menanggung malu. Melakukan pertemuan di sebuah negara dan di depan mata mereka negara tersebut ekonominya runtuh,” sebutnya.
Baca juga: Pertemuan Tahunan IMF-World Bank Disebut Berikan Dampak Positif bagi Perekonomian Bali
Dia menambahkan kedua hal tersebut cukup menjadi alasan bagi IMF untuk menunda pertemuan akbar di Bali. Mengingat, pertemuan annual meeting ini menelan biaya yang sangat besar.
“Karena ini bukan pertemuan biasa, ini agenda akbar luar biasa. Bayangkan saja pertemuan ini akan menghadirkan sebanyak 12,000 sampai 15,000 orang, dengan 3,500 delegasi resmi dari 189 negara anggota, sekitar 1,000 media, dan lebih dari 5,000 peserta yang terdiri dari para CEO swasta, komunitas perbankan, akademisi, parlemen dan LSM. Ini pesta akbar, bukan agenda biasa!,” jelas Salamuddin.
“Mau taruh di mana muka mereka berpesta pora, menghabiskan anggaran triliunan rupiah, dilayani dayang-dayang, sementara di sebelah mereka mayat-mayat bergelimpangan, bau luka dan nanah, jerit tangis penderitaan korban gempa dan puing-puing reruntuhan ekonomi Indonesia,” pungkasnya.
(gdn/wbn/anm/bya)
Editor: Gendon Wibisono