NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pasca insiden kerusuhan narapidana terorisme di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat dan rentetan teror bom di Surabaya, Jawa Timur, banyak kalangan yang mengkritik kinerja Badan Intelijen Negara (BIN). Padahal, setiap pemerintah tentu memiliki kebijakan kontra terorisme. Menyalahkan intelijen dalam konteks ini dinilai kurang tepat.
“Kalau kita lihat umumnya negara maju di dunia, pemerintah memiliki kebijakan kontra terorisme yang punya fokus pada empat hal, di antaranya pencegahan (prevention), pengejaran (pursuit), perlindungan (protection) dan kesiapsiagaan (preparedness). Umumnya intelijen fokus berperan di dua yang pertama, tapi di Indonesia pada dua fokus itu pun kewenangannya belum penuh,” kata Pengamat politik internasional Arya Sandhiyudha kepada redaksi, Jakarta, Senin (14/5/2018).
Arya menjelaskan, pencegahan ialah peran seluruh aktor keamanan nasional, termasuk intelijen tetapi intelijen bukan satu-satunya. Sebab, kementrian atau lembaga non keamanan nasional juga wajib berperan mengatasi penyebab terorisme di dalam dan luar negeri baik ekonomi, budaya, sosial-keagamaan, atau politik.
“Itu berarti antara lain memastikan bahwa keyakinan keagamaan warga dapat difasilitasi dengan perlindungan penuh dari hukum dan mampu berpartisipasi penuh dalam masyarakat,” jelasnya.
Kemudian, kata dia, penting dicatat juag bahwa sejak 2011 pengawasan orang asing di Indonesia sangat lemah sejak fungsi tersebut tidak lagi dikelola oleh lembaga dengan kapasitas intelijen memadai, karena dilimpahkan ke lembaga yang hanya bersifat administratif.
Kemudian, pengejaran, ialah aktor keamanan nasional, termasuk intelijen diberikan kewenangan secara efektif untuk menangkap para teroris, sesuatu kewenangan yang tidak didapatkan di Indonesia. Sementara di negara-negara maju biasanya regulasi selain sangat mendukung meningkatknya kerja gabungan dan pembagian-intelijen antara pemerintah dan hokum lembaga penegak hukum. Di dalam negeri, pemerintah bertujuan untuk membuat negara lebih aman, untuk membuat pencurian identitas lebih sulit dan untuk membatasi akses teroris sumber keuangan.
Selanjutnya, perlindungan ialah memastikan bahwa tindakan pencegahan keamanan terdukung. Menurut Arya, kapasitas militer untuk terlibat menangani ancaman di objek vital nasional perlu dibicarakan antara TNI dan Polri. Sebab, sebenarnya DPR RI masuk ke dalam pengesahan akan lebih mudah dan cepat andai antar sektor di internal pemerintah sudah bersepakat.
Berikutnya, kesiapsiagaan ialah memastikan bahwa negara memiliki orang-orang, lembaga dan sumber daya dengan kapasitas yang sesuai sehingga secara efektif menangkal konsekuensi serangan teroris.
“Jadi, menyalahkan intelijen dalam beberapa kejadian terorisme terkini kurang tepat. Intelijen paling maksimal jelas memiliki tanggung jawab peran kunci di dalam pursuit, pengejaran dan preventing, pencegahan. Lainnya, tidak. Di dua peran itu pun tidak bisa sendirian dan dalam beberapa hal secara regulasi masih terbatas. Keterbatasan peran intelijen dalam kontra terorisme perlu hati-hati dipahami,” jelas Arya.
Misalnya, kata dia, agensi intelijen Amerika Serikat telah menerima beberapa informasi yang relevan sebelum 9/11, tetapi setelah dibagikan ke aktor keamanan nasional lain ternyata tidak direspon signifikan.
Contoh lain, dalam kasus ketika pemerintah Inggris mengerahkan 400 pasukan ke Heathrow, dalam menginfokan peringatan dini pada Februari 2003, namun kemudian intelijen gagal dalam mengabarkan kemungkinan serangan.
Demikian pula serangan di Madrid pada Maret 2004 adalah serangan multi-lokasi skala besar tanpa terdapat jelas tanda-tanda sebelumnya dari aktivitas teroris, tetapi dengan beberapa peringatan dini intelijen yang relevan berhasil ditangkal sebagian meskipun tidak sepenuhnya bisa ditangkal.
“Jadi menyalahkan BIN sebagai koordinator intelijen nasional memang kurang tepat, karena di sisi lain banyak juga keberhasilan yang di permukaan diperankan lembaga atau aktor keamanan nasional yang lain,” papar doktor bidang hubungan internasional dari Istanbul University Turki ini. (red/nn)
Editor: Eriec Dieda