Cerpen: Ali Mukoddas
Namanya Rakyat Mukod, dengan alasan ingin menjadi rakyat yang diakui. Dirinya belum juga mendapatkan kartu tanda penduduk. Sering dia pergi ke kantor kecamatan atas usulan kepala RT. Sering pula dia kembali dengan tanpa membawa hasil apa-apa. Alasannya sederhana, dia tidak mau mengemis-ngemis, apalagi berniat memberi uang sogokan agar pengakuan kependudukan disematkan kepadanya.
“Mengapa bapak belum juga punya KTP? Bukankah seringkali ke kecamatan? Sudah kuajukan hak bapak. Tinggal urus.”
“Tak ada yang namanya kambing minta tanda pada pengembalanya. Seharusnya pengembala itu sadar kalau kambingnya sewaktu-waktu bisa tertukar. Biarlah aku tak diakui, toh siapa yang perlu? Aku tak peduli dianggap atau tidak. Kebahagiaan tidak ada di sebuah kartu.”
Pertanyaan sekaligus rasa heran kepala RT lenyap karena kalimat tanggapan Rakyat Mukod. Yang menegur tak lagi mau tahu, sejak saat kejadian dari percakapan tersebut urus mengurus serta bolak-balik ke kantor kecamatan berhenti.
Mukod hanya hidup sendiri. Serba sederhana. Mandi pun menggunakan air keruh dari sungai kotor ibu kota. Dirinya tak mengharap banyak dari pemerintah. Lagi-lagi dia berpikiran demikian karena belum dianggap rakyat. Tapi sesekali nama Rakyat yang disematkan sendiri mampu membuatnya tersenyum.
Cerita ini sederhana. Aku tak terkait di dalamnya. Aku hanya pencerita. Mengapa aku harus repot-repot menceritakannya? Tentu kalian sebagai pembaca penasaran, atau sama sekali tak memiliki rasa penasaran. Terserah. Sesuai dengan judul di cerita ini, menjual kebahagiaan. Aku tak berusaha meyakinkan kalian sebagai pembaca yang cerdas untuk mempercayainya. Atau mempromosikan kebahagiaan yang dijual agar kalian beli. Karena aku sendiri tidak yakin dengan apa yang kuceritakan. Bisa jadi kalian pernah mendengarnya, dan aku hanya mengulang cerita tersebut. Atau aku sedang berbohong dan kalian menerima kebohongan ini?
Tentang Rakyat Mokod. Berawal dari kemacetan persimpangan di jalan Pramuka. Kemacetan seringkali membuat jengkel, kepala berkeringat, kaki nyeri, punggung juga, kehilangan banyak umur. Intinya semua itu tidak membahagiakan sekali. Para pengendara mobil, motor, termasuk ojek yang bisa dipanggil melalui telepon canggih, semua bersungut-sungut. Tak ada sinar kebahagiaan di wajah mereka. Hingga datang keanehan seorang penjual berkoak-koak seperti berbual kebohongan. Itulah Rakyat Mukod yang kuceritakan.
“Kebahagiaan, kebahagiaan, kebahagiaan…,” ucapnya berulang-ulang seraya melongo di dekat kaca mobil-mobil orang yang menunggu lampu berganti hijau.
“Kebahagiaan, Pak? Murah, Pak, dua ribu untuk menikmati kebahagiaan satu jam. Mau coba?”
Orang yang ditawari mengerutkan dahi. Mengapa ada orang berjualan hanya membawa botol bertutup semprotan parfum? Dasar gila! Orang yang ditawari menggelengkan kepala tegas. Sebagian lain yang ditawari diam tak menggubris. Tapi si penjual tak mau menyerah, dia mengenalkan dagangannya lagi dan lagi.
“Kebahagiaan, kebahagiaan, kebahagiaan…,” koarnya seraya mendahulukan kepala dari dada.
Dari kemacetan yang lama—karena ada perbaikan jalan yang tak kunjung usai, tepatnya itu sebuah proyek, katanya—sebagian orang yang merasa jengkel dan kasihan terhadap orang tersebut mencoba menyapa. Niatnya hanya ingin memberi uang seperti orang kebanyakan, tapi demi menghargai asongan yang tak dapat dipahami sedang menjual apa, dia mencoba memanggil. Si penjual menghampirinya.
“Mau beli, Mas? Murah, dua ribu untuk kebahagiaan satu jam.”
Pengendara motor yang memanggil mengangguk, berusaha tersenyum. “Aku beli untuk dua jam.”
Setelah kalimat tersebut usai, si penjual menyemprotkan sesuatu seperti air dua kali semprotan.
“Sudah, Mas. Terima kasih.” Si penjual menerima uang dua lembar, dua ribuan keluaran terbaru. Dia senang, akhirnya ada yang mau membeli.
Dia kembali berkeliling ganti jalan mengejar lampu merah. Dari beberapa kali berkeliling di sela-sela mobil dan motor yang memaksa masuk di celah-celah kecil, tak ada yang memanggilnya. Si penjual yang menawarkan kebahagiaan terpaksa pulang. Hanya satu orang yang berhasil dicuri perhatiannya. Itu pun karena keberuntungan, mungkin.
Tak kenal lelah, di hari berikutnya si penjual berteriak lebih giat lagi, lebih pagi dan berjanji akan tetap berada di persimpangan sampai matahari sore. Tekadnya bulat. Berteriak-teriaklah dia seperti para penjual kebanyakan. Saingan penjual yang hanya bermodal kardus persegi dengan seutas tali tersebut tak sedikit. Sekitar lima orang menawarkan dagangannya, ada air, makanan ringan, rokok, mainan, alat penutup hidung dari debu, ada juga yang merangkap semuanya. Penjual kebahagiaan, hanya dia yang beda sendiri.
Matahari yang mulai meninggi seperti membakar pengendara, juga para penjual. Si penjual kebahagiaan tak peduli, dia terus mengenalkan jualannya. Berjam-jam, bahkan hampir merangkai setengah hari, baru ada satu orang menyentuhnya dari belakang, si pengendara motor kemarin. Dia memegang pundak si penjual.
“Pak, entah itu karena air yang disemprotkan padaku waktu itu, atau apa hingga aku merasa bahagia bukan kepalang, aku ingin membelinya lagi. Kali ini sepuluh ribu, ya?”
Tanpa komentar apapun, si penjual langsung menyemprotkan lima kali ke badan berkaus pembelinya. Uang keluaran baru diterimanya. Tanpa sadar pula, ada seseorang di belakang pengendara motor tersebut yang menyikut pinggang si penjual. Lampu sudah berganti hijau. Kepalang, karena tak sempat menepi untuk berganti ke bagian jalan yang berlampu merah, dia terjengkang, membentur tubuh mobil. Jualannya terbang, botol yang terbuat dari kaca tapi memiliki tutup yang bisa menyemprot itu pecah. Entah bagaimana kejadiannya, semua pengendara motor yang masih baru memutar gulungan pegangan di setirnya berhenti. Mata mereka berbinar-binar, mereka sangat bahagia.
Si penjual tak mau tahu tentang jatuhnya botol tersebut, dia segera menyelamatkan diri ke pinggir jalan, berada di bawah jalan layang. Dia tak memerhatikan para pengendara motor yang berhenti, membuat mobil juga berhenti, lantas pemiliknya membuka jendela mobil hendak marah-marah, lalu tak sengaja mencium aroma air dari botol pecah tersebut, hingga semua orang benar-benar merasa bahagia, tak terkecuali.
Bagian belakang dari antrean kemacetan memencet klakson seperti sedang ada pawai menteri. Mereka tidak tahu betapa bahagianya orang yang tidak mau berjalan tersebut. Tak ada senyum licik, rasa buru-buru ingin pergi bekerja atau apalah yang merenggut kebahagiaan, mereka memilih santai, menikmati kebahagiaan. Saat itulah, orang yang melihat dengan tepat kejadian jatuhnya si penjual yang selalu menggemakan bahwa dirinya sedang menjual kebahagiaan turun dari motornya. Menghampiri si penjual.
“Sihir apa yang kau tebarkan, Pak? Semua orang terlihat bahagia karena bapak jatuh. Apakah jatuh itu membuat kebahagiaan bapak terbang, lalu kebahagiaan itu lompat pada kami? Lihatlah semua jadi terdiam menikmati kebahagiaan. Kurasa mereka merasakan hal yang sama sepertiku. Aku bahagia, maka berilah aku jampi-jampi kebahagiaan itu. Pak?”
Si penjual mundur, memegangi pinggang dan sikutnya yang terasa sakit. Wajahnya seperti ketakutan. Ditambah suara deru mesin yang serentak, klakson yang semakin melengking keras, serta kemacetan empat penjuru yang memanjang karena jatuhnya tubuh tua itu.
“Baiklah, maaf karena membuat bapak merasa ketakutan. Aku hanya ingin berterima kasih atas kebahagiaan ini.” Si pengendara motor pergi menghampiri motornya.
Karena kejadian tersebut, hal yang dianggapnya tidak baik, si penjual memilih untuk tidak berjualan lagi. Dia memilih diam, pergi dan melupakan hasrat menjualnya. Menjual kebahagiaan. Walau motivasi utamanya ingin membuat semua orang sesekali merasakan kebahagiaan berjam-jam dan menanggalkan kesengsaraan serta penderitaan untuk sementara. Hanya hal itu motivasinya. Tapi motivasi itu luntur, tak ada semangat. Matanya lebih sering terbuka daripada tertutup. Berhari-hari terpekur di kolong jembatan yang dianggapnya rumah. Hingga pada suatu pagi semangat menggebu datang di rumah itu. Air racikannya, yang terbuat dari sari berbagai bunga yang ada di sekitar semak-semak sungai mengenai matanya. Kebahagiaan serta-merta berbinar, membuat kepalanya mendenging untuk kembali berjualan. Sejak pagi itulah dia berangkat berjualan, meneriakkan bahwa dirinya menawarkan kebahagiaan dengan harga murah. Berhari-hari, merangkai minggu dia jadi dikenal. Semua pengendara yang sering melewati persimpangan tempat biasanya berjualan jadi pelanggan. Kadang membeli kebahagiaan sampai dua puluh ribu. Kadang pula ada yang tidak berniatan untuk pergi ke mana-mana, melainkan hanya ingin membeli kebahagiaan di persimpangan. Hal itu pulalah yang membuatnya mendirikan tempat seperti gubuk penarikan uang, tapi konsepnya seperti pertamina kecil yang ditawarkan di pinggir jalan. Botol besar berisi kebahagiaan bertengger tinggi, dengan selang kecil yang memiliki ujung semprotan berhasil dibuatnya.
Siang hari dia memilih membuka tempat yang dinamakannya warung kebahagiaan di pinggir jalan. Karena dekat dengan segala keramaian, juga berada di jalan yang strategis, para manusia yang merasa kurang bahagia mendatangi warung tersebut. Dalam hitungan hari sejak pertama kali dibuat, warung itu ramai oleh pengunjung.
“Bagaimana bapak membuat kebahagiaan? Aku heran saja warung ini ternyata mengalahkan warung sate terkenal yang ramainya minta ampun.”
“Kebahagiaan terbuat dari penderitaan yang panjang, Anakku. Perampokan, penghinaan, fitnah, kehilangan, tertekan dan ketidakadilan, semua itu adalah resepnya. Aku hanya menyatukannya dengan sari-sari bunga di sekitar agar semua itu menjadi kebahagiaan. Tepatnya, kebahagiaan itu sudah ada pada pembeli, aku hanya memaksanya untuk keluar sebelum waktunya.”
Begitulah suatu percakapan yang pernah terjadi di warung kebahagiaan. Tidak hanya sekali orang penasaran dengan racikan kebahagiaan tersebut. Berkali-kali setiap hari selalu ada penanya, dan itu adalah pelanggan baru.
“Mengapa bapak tidak menjualnya sepanjang waktu?” tanya seorang pemuda. Pemuda itu seringkali tak mendapat bagian, karena masih melakukan aktivitas tambahan di waktu istirahat.
“Setiap orang memiliki kesempatan untuk mendapat keuntungan, biarlah penjual lain laku dagangannya. Aku harus menutup warung ini setelah buka selama satu setengah jam. Sisanya, pagi dan sore kudagangkan dengan berjualan di persimpangan. Aku tidak mau serakah, Anakku. Biarlah cukup hanya mereka yang tak mau mengerti, mengeruk semuanya tanpa henti dari kebahagiaan orang lain, dan aku ingin menebar kebahagiaan dengan harga yang murah.”
“Tapi, kan, sayang. Dagangan sebagus ini hanya bisa didapat dalam sekejap.”
“Kau masih beruntung mendapatkannya, Anakku. Masih banyak di lain tempat yang tak merasakan kebahagiaan.”
“Aku penasaran bagaimana cara membuat kebahagiaan sebahagia ini. Pasti dengan tempat dan alat yang canggih, ya?”
“Tidak semua hal yang bagus dan membahagiakan itu didapat dari yang indah-indah, Anakku. Sepatu berkualitas tinggi kebanyakan dibuat di tempat-tempat kumuh, bau, tidak membahagiakan sekali. Tapi begitulah, selalu ada pengorbanan untuk kebahagiaan. Itulah sebabnya, aku pernah mendengar kalau kebahagiaan tertinggi adalah ketidakbahagiaan tertinggi. Dan selalu kuanjurkan pada pembeli untuk sesekali menikmati ketidakbahagiaan agar mendapat kebahagiaan yang berarti.”
“Baiklah, aku beli—“
Sirene terdengar memekakkan telinga, membuat pemuda yang membeli kebahagiaan terhentak mundur. Segerombolan polisi datang tanpa bicara. Sebagian kisruh mengucapkan kalimat ini itu yang berkaitan dengan undang-undang dan sebagainya. Kejadian singkat yang langsung membungkam mulut si penjual kebahagiaan itu hanya dapat disaksikan oleh orang yang sudah merasa bahagia. Mereka hanya melihatnya dengan senyum-senyum serta mata yang berbinar-binar.
“Kau tahu, Orang Tua? Heh? Karena ulahmu itu banyak orang yang cengar-cengir dan tak merasakan ketakutan. Orang yang kami tilang di jalanan tersenyum dan pergi begitu saja tanpa merasakan takut dan sakit hati karena kami tilang. Setelah diselidiki, ternyata kaulah ulahnya. Kau tahu bahayanya kebahagiaan bagi orang miskin, ha? Orang miskin dan yang tak berpendidikan, biarlah mereka merasakan sakit dan penderitaan, jangan ada kebahagiaan di sana. Mengerti?!”
Si penjual terdiam. Ada yang jatuh dari matanya. Sesaat sunyi. Diingatnya bahwa dia memiliki kebahagiaan di botol kecil simpanannya dalam saku. Dia menyemprotkan kebahagiaan tersebut ke arah Polisi. Dalam sekejap yang terkena semprot menjadi bahagia, lantas melepaskan sanderanya begitu saja. Polisi lain yang melihatnya sontak mendekat, hendak menghalangi. Semprotan kebahagiaan dilakukan lagi. Begitulah seterusnya hingga tak ada yang bisa menghalangi jalannya si penjual kebahagiaan untuk pergi.
Si penjual kebahagiaan bebas sebebas-bebasnya. Tidak ada polisi, penyidik, pasukan khusus atau apalah yang berani mendekatinya. Atau mereka akan pulang cengengesan merasakan kebahagiaan dan tak ada amarah untuk menangkapnya dalam waktu yang lama? Dan parahnya, kebahagiaan yang berlebihan berakhir pada kegilaan.
Begitulah kisah si penjual kebahagiaan, yang sekarang damai di tempatnya, entah. Karena kegaduhan, dia memilih berhenti menjual kebahagiaan, kemudian menjalani hidup normal. Di bawah jembatan dia dapat dijumpai.
Aku termasuk orang yang beruntung karena tahu bahwa dia si penjual kebahagiaan. Niatku meminta kebahagiaan padanya, tapi yang kudapati hanya kepala RT yang menceritakan tentang keadaan Rakyat Mukod yang sekarang entah di mana. Padahal aku sedang dalam kepiluan yang sangat, perihal penolakan kependudukan.[]
Madura, 22 Agustus 2017.
Penulis merupakan pemuda asal Madura yang menulis untuk dirinya sendiri, cukup egoistis memang. Setelah mengakhiri pembelajarannya di Annuqayah, dia pindah ke Jakarta serta kuliah Ilmu Hukum di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia. Bisa berkirim email dengan penulis di [email protected].
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].