NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Orang Jawa menyadari betapa hidup sangat bergantung pada alam. Dalam kosmologi Jawa, alam terdiri atas alam empiris yang menjadi kediaman manusia dan alam di balik realitas empiris atau metaempiris.
Alam empiris selalu berhubungan dengan alam metaempiris. Setiap peristiwa di dunia empiris dipengaruhi oleh alam metaempiris (Frans Magnis Suseno: 2001).
Untuk itulah, mengapa manusia dan alam memiliki relasi intim. Perubahan iklim ektrem dewasa ini merupakan efek domino dari perilaku masyarakat modern yang abai pada keseimbangan mikrokosmis.
Pencemaran udara (polusi), pengrusakan hutan, penambangan liar, dan rendahnya kepedulian terhadap alam, mengakibatkan keseimbangan bumi tak terjaga secara baik.
Baca Juga:
Narasi Simbolik Gugontuhan Jawa
Membedah Akar Kebudayaan Jawa
Wetu Telu; Budaya yang Terpinggirkan
Alam senantiasa menyiratkan tanda. Tanda-tanda itulah yang semestinya ditangkap manusia. Sebagai contoh pemanasan global, lahir karena manusia telah ‘memperkosa’ alam semena-mena.
Industrialisasi merajalela, hingga limbah dan sampah mencemari sungai dan lautan. Hal mendasar yang perlu digugah dari masyarakat modern adalah mengembalikan hubungan yang ‘intim’ dengan alam.
Antara manusia dan alam keduanya mempunyai hubungan integral yang saling mengikat. Samin Surosentiko pendiri komunitas Wong Sikep, memiliki falsafah hidup harmoni alam. Sebuah relasi hubungan alam dengan manusia dengan jalan menjaga keseimbangan kehidupan di bumi. Samin Surosentiko mencetuskan falsafah tersebut tidak lepas dari interaksinya dengan alam, melalui konsep niteni (mengamati).
Ironisnya, penemuan empirik tersebut kerap dinilai irrasional. Tak ayal, ilmu titen yang telah melahirkan rumus-rumus astronomi lokal ini hilang digilas masa.
Editor: Romadhon