Budaya / SeniEsaiOpiniRubrika

Wetu Telu; Budaya yang Terpinggirkan

NUSANTARANEWES.CO – Budaya etnis dan adat lokal yang dimiliki oleh kelompok-kelompok suku bangsa yang ada di Indonesia menjadi bagian penting yang telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi penguatan jati diri dan pembentukan karakter bangsa serta ketahanan budaya bangsa di tengah massifnya gempuran budaya luar yang terus saja menggerus nilai-nilai kearifan budaya dan adat-istiadat masyarakat lokal.

Keberadaan komunitas adat lokal ini juga menjadi warna yang mencirikan kebhinnekatungalikaan masyarakat Indonesia. Kelompok sosial-budaya yang bersifat lokal ini umumnya hidup terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan pelayanan sosial, ekonomi maupun politik. Menariknya, jumlah komunitas adat seperti ini cukup banyak di wilayah NKRI. Sebut saja, komunitas Samin, Suku Badui dan atau komunitas Wetu Telu yang ada di Pulau Lombok.

Baca:

Komunitas masyarakat adat merupakan kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur yang secara turun-temurun berada di wilayah geografis tertentu serta memiliki sistem nilai, ideologi, politik, ekonomi, budaya, sosial dan wilayah sendiri. Salah satu ciri dari masyarakat adat yakni memiliki kedalaman pengetahuan, serta sistem sosial-ekonomi yang tangguh dan bertumpu pada keseimbangan alam dan sistem produksi yang lebih menekankan pada sumber ekonomi dari bertani; berladang, berkebun dan beternak.

Komunitas Wetu Telu merupakan salah satu dari komunitas adat tradisional yang hidup dan berkembang di masyarakat Pulau Lombok. Komunitas adat tradisional ini banyak dijumpai di Kecamatan Bayan, Kabupten Lombok Utara. Mereka membentuk pranata sosial dengan mengedepankan tiga konsep keyakinan, yaitu hubungan dengan manusia, hubungan dengan pencipta, dan hubungan dengan alam semesta.

Baca Juga:  Polres Pamekasan Sukses Kembalikan 15 Sepeda Motor Curian kepada Pemiliknya: Respons Cepat dalam Penanganan Kasus Curanmor

Di Bayan, komunitas ini sudah berkembang dan dipelihara dengan cukup baik. Mereka memiliki sosok anutan yang hadir pada diri seorang kiai. Kiai inilah yang berperan dalam mengatur dan menjaga keseimbangan antara ketiga konsep keyakinan tersebut agar manusia, Sang Pencipta, dan alam semesta dapat berjalan sinergis. Setiap masyarakat akan patuh dan mematuhi anjuran dan larangan yang dikeluarkan oleh sang kiai. Dalam kaitannya dengan alam semesta, telah tertanam pada diri masyarakat untuk senantiasa memuliakan alam semesta.

Keberadaan alam bukanlah untuk dieksploitasi, tetapi untuk dijaga dan dilestarikan. Ini terbukti dalam praktik kehidupan masyarakat Wetu Telu di Bayan, mereka memelihara hutan adat. Upaya pelestarian alam juga tecermin dalam tindakan menanam ulang setiap tanaman yang diambil. Apabila seorang warga menebang pohon, maka ia harus menanam pohon yang lain sebagai ganti atas tindakannya tersebut sebagai konsekuensi untuk menjaga keseimbangan alam agar terus hidup. Mereka pun menjalankan hidup sebagaimana masyarakat pada umumnya, memperoleh akses yang sama dengan masyarakat lain, seperti akses pendidikan, kesehatan, politik, dan lain-lain. Apa yang dilakukan oleh komunitas Bayan ini dapat berjalan dengan baik karena didukung pula oleh pengakuan pemerintah terhadap keberadaan mereka.

Namun, tidak semua komunitas Wetu Telu mendapatkan kesempatan dan perlakuan yang sama seperti komunitas Wetu Telu di Bayan. Ini membuka satu kenyataan lain, bahwa komunitas Wetu Telu di Pulau Lombok tidak hanya berada di Bayan saja. Sejauh ini, ketika mendengar komunitas Wetu Telu, perhatian orang akan selalu tertuju pada Bayan KLU. Padahal, tidaklah demikian. Di tempat lain pun masih ada komunitas Wetu Telu yang berkembang sampai saat ini. Salah satunya adalah di Kabupaten Lombok Timur

Baca Juga:  Anton Charliyan Dampingi Prabowo Makan Baso di Warung Mang UKA di Cimahi Jabar 

Selama ini, keberadaan komunitas Wetu Telu di Kabupaten Lombok Timur ini lebih seringkali tidak terekspos dan terdokumentasikan dengan baik. Padahal, jumlah kuantitas anggota komunitas masyarakat penganut Wetu Telu ini tergolong cukup signifikan mendiami perkampungan tertentu yang ada di beberapa titik kecamatan. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh komunitas adat ini tidak terfokus pada satu titik tempat namun berpencar di beberapa kampung dan kekadusan.

Adat-istiadat dan nilai sosial budaya komunitas Wetu Telu merupakan salah satu modal sosial yang dapat dipertahankan dan dimanfaatkan dalam rangka pelaksanaan pembangunan, sehingga perlu dilakukan upaya pelestarian dan pengembangan sesuai dengan karakteristik masyarakat adat setempat sebagaimana yang diatur dalam Permendagri No. 52 tahun 2007. Karena itu, perlu adanya upaya dari pegiat budaya bersama pemerintah untuk menjaga dan memelihara keberadaan komunitas adat tersebut.

 

Pelestraian dan pemberdayaan

Nilai sosial budaya dan pranata adat yang perlu dilestarikan dan dikembangkan untuk menjaga dan memelihara adat istiadat dan nilai sosial, ekonomi dan budaya masyarakat Wetu Telu, terutama nilai-nilai etika, estetika, moral, dan adab yang merupakan inti dari adat istiadat atau kebiasaan yang ada dalam masyarakat, dan lembaga pranata adat agar keberadaannya tetap terjaga dan berlanjut. Selain itu, upaya pengembangan perlu dilakukan dengan terencana, terpadu, dan terarah agar adat  istiadat dan nilai sosial budaya komunitas Wetu Telu dapat berkembang mengikuti perubahan sosial, budaya dan persaingan ekonomi.

Pelestarian komunitas adat Wetu Telu yang ada di Lombok Timur dimaksudkan untuk menjaga agar nilai, adat-istiadat dan kebiasaan yang telah tumbuh, hidup dan berkembang dalam praksis kultural, tetap lestari dan tidak hilang. Nilai, tradisi, adat istiadat, budaya yang tumbuh pada suatu masyarakat pada dasarnya juga menjadi aset atau modal sosial yang penting dalam rangka memberdayakan masyarakat demi mewujudkan kualitas hidup dan kesejahteraannya.

Baca Juga:  Ketua Lembaga Dakwah PCNU Sumenep Bahas Tradisi Unik Penduduk Indonesia saat Bulan Puasa

Di samping itu, pelestarian tradisi penting dilakukan untuk mengeliminasi ekses modernisasi yang dapat menghancurkan ikatan  nilai tradisi seperti kekeluargaan, kegotong-royongan, nilai-nilai keagamaan, adat-kebiasaan lokal, maupun pranata budaya yang sebenarnya telah berurat dan berakar dalam formasi kehidupan sosial. Sedangkan pengembangan diarahkan guna merevitalisasi nilai, norma, tradisi, budaya dan kearifan lokal agar sejalan dengan perubahan zaman sekaligus kepentingan praktis bagi peningkatan kemajuan, kesejahteraan, dan kemandirian komunitas masyarakat adat.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana memperkuat peranan adat istiadat melalui pemberdayaan masyarakat? Pemberdayaan merujuk pada pengertian perluasan kebebasan memilih dan bertindak.  Bagi komunitas adat, kebebasan ini sangat terbatas karena ketidakmampuan mereka bersuara dan ketidakberdayaannya dalam hubungannya dengan aturan formal yang kaku, tidak memihak hak kultural komunitas serta ketidakmampuan mereka dalam persaingan ekonomi.

Karena kemiskinan bersifat multi dimensi, komunitas masyarakat adat yang mengalami ekslusi sosial ini sangat membutuhkan kemampuan pemenuhan pada tingkat individu seperti kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Pada tingkat kolektif seperti keutuhan bertindak bersama untuk mengatasi masalah yang terkait dengan pelayanan sosial dan kebijakan publik. Memberdayakan masyarakat adat Wetu Telu yang selama ini identik dengan stereotipe dan stigma miskin, terbelakang dan terpinggirkan menuntut adanya upaya menghilangkan penyebab ketidakmampuan mereka dalam rangka meningkatkan kualitas taraf hidupnya. Begitu. []

Penulis: Harianto Nukman, Pegiat Kelompok Studi Sosial & Kebudayaan (KlaSiKa-Lombok)

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]

Related Posts

1 of 3,049