NUSANTARANEWS.CO – Mencoba memahami perubahan sistem energi dunia. Siapa pun yang mencoba memahami apa yang terjadi dengan sistem energi dunia saat ini dapat dipastikan bingung. Kebanyakan orang tahunya telah terjadi situasi darurat tentang keadaan iklim. Atau perlunya segera beralih dari bahan bakar fosil kepada energi baru terbarukan.
Banyak pula cerita tentang keberhasilan energ dari angin atau tenaga surya, bagaimana energi “batubara mati” dan booming penjualan kendaraan listrik, atau bagaimana energi terbarukan sekarang lebih murah daripada bahan bakar fosil.
Memahami semua ini bisa sangat menakutkan bagi orang-orang yang bukan ahli energi, tetapi peduli dengan krisis iklim. Sementara bagi orang Afrika Selatan, memahami masalah ini sangat penting mengingat ketergantungan negaranya yang tinggi pada batu bara.
Memang benar bahwa sistem energi di seluruh dunia sedang mengalami perubahan besar. Negara yang berbeda menghadapi tantangan yang berbeda, dan menangani tantangan tersebut dengan cara yang berbeda. Tetapi karena krisis iklim membutuhkan tindakan global dan lokal, ada baiknya melihat tren
Meskipun ada “rekor” pertumbuhan dalam energi terbarukan, namun pertumbuhan kebutuhan permintaan energi fosil secara keseluruhan masih lebih besar. Pada bulan Maret 2019, Badan Energi Internasional (IEA) melaporkan bahwa permintaan energi global tumbuh sebesar 2,3% pada tahun 2018 – kenaikan paling tajam, dan hampir dua kali lipat tingkat rata-rata, dekade ini. Lonjakan ini disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang kuat secara keseluruhan, serta rekor suhu di banyak bagian dunia, yang meningkatkan permintaan untuk pemanasan dan pendinginan.
Bahan bakar fosil tetap menjadi kebutuhan utama untuk menghasilkan listrik. Pertumbuhan permintaan listrik global tumbuh dengan cepat pada 2018 yang permintaannya secara keseluruhan tumbuh 4% – mewakili 42% emisi tahun lalu.
Meskipun terjadi banyak penutupan pabrik batubara di seluruh dunia, namun batubara tetap masih menjadi bahan bakar dominan untuk menghasilkan listrik secara global. Tren konsumsi batubara diproyeksikan akan tetap stabil pada tingkat ini untuk satu, dua dekade mendatang. Sebenarnya, konsumsi batubara terus meningkat sejak tahun 2016.
Konsumsi batu bara tumbuh secara dramatis di beberapa negara besar, terutama di Asia Tenggara. Cina baru-baru ini mengumumkan rencana untuk membangun 300 pembangkit listrik tenaga batu bara baru yang kebanyakan di luar Cina. Permintaan batu bara untuk daya naik 2,6% tahun lalu, dan emisi CO2 naik 2,5%, dengan batu bara berkontribusi 80% dari peningkatan.
Saat ini, kapasitas pembangkit batubara telah mendapat bauran energi, sebagian besar adalah gas alam di banding energi terbarukan – terutama di dua negara penghasil emisi terbesar di dunia, AS dan Cina.
Berdasarkan perspektif perubahan iklim, bauran gas alam ini merupakan kabar buruk – karena membakar metana menghasilkan lebih sedikit CO2 daripada membakar batubara. Tetapi metana itu sendiri adalah gas rumah kaca yang jauh lebih kuat daripada CO2 pada skala waktu yang lebih pendek, kira-kira 86 kali lebih kuat dalam skala waktu 20 tahun.
Jadi apa yang kita lihat bukanlah “transisi ke energi terbarukan,” melainkan konfigurasi ulang sistem energi dunia. Sementara itu, penggunaan energi secara keseluruhan terus meningkat, dan tidak ada sumber bahan bakar utama yang hilang dalam waktu dekat. Dengan kata lain, bukan saja kita belum menggali jalan keluar dari lubang, tetapi kita bahkan belum berhenti menggali lubang lebih dalam lagi. (Agus Setiawan)