NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pada hari Minggu, 5 April Presiden Prancis Emmanuel Macron melakukan kunjungan kenegaraan selama tiga hari ke Cina untuk melakukan pembicaraan bilateral dengan Presiden Cina Xi Jinping.
Paris memang kerap mengambil langkah berlawanan dan memilih melakukan pendekatan nonblok dengan Cina. Sejauh ini, Prancis dan Cina telah menandatangani berbagai kesepakatan kerja sama di bidang energi, khususnya energi terbarukan dan nuklir. Kesepakatan ini tentu saja mendapat tentangan dari Amerika Serikat (AS) – yang menginginkan Eropa turut mengisolasi Cina.
Seperti halnya indonesia yang sejak lama telah menjalin kerjasama industri miiter dengan Prancis, Cina pun tampaknya menyadari pentingnya pendekatan terhadap Prancis sebagai negara dengan kekuatan nuklir di benua Eropa ini.
Prancis sendiri ketika memimpin Dewan Uni Eropa telah menyerukan perlunya pembentukan Pertahanan Uni Eropa sendiri. Presiden Macron sangat berambisi untuk membangun sistem pertahanan kolektif Eropa secara mandiri.
Apalagi belakangan setelah pecah konflik bersenjata di Ukraina yang semakin menunjukkan bahwa betapa Eropa sangat tergantung dengan AS terutama terkait kebijakan ekonominya. Belum lagi dengan meningkatnya ketegangan antara politik Barat yang dipimpin Paman Sam dengan Cina sehingga menimbulkan atmosfir Perang Dingin Baru.
Beijing tentu menyambut hangat pendekatan Prancis yang nonblok ini – yang jelas-jelas sangat tidak disukai AS dan banyak pemimpin Eropa lainnya. Macron sendiri dalam pembicaraan dengan Xi menegaskan bahwa Prancis meginginkan otonomi strategis Eropa, tidak menyukai konfrontasi blok, serta percaya untuk melakukan urusannya sendiri.
Sementara Presiden Xi Jinping kepada pemimpin Prancis itu mengatakan bahwa Eropa adalah kutub independen di dunia multipolar. Cina mendukung Eropa dalam mencapai otonomi strategis dan percaya bahwa Eropa akan mengambil pendekatan independen untuk mengembangkan hubungannya dengan Cina. Paga gilirannya Xi mendesak UE untuk “melawan hegemonisme, unilateralisme, dan upaya untuk memisahkan ekonomi atau memutuskan rantai pasokan.
Terlepas dari berbagai analisis pengamat, yang jelas Prancis telah berselisih dengan NATO dan AS dalam sejumlah masalah. Tinggal bagaimana apakah Macron mampu mendorong otonomi Eropa menjadi kenyataan. Atau akan bernasib sama dengan pemimpin Libya Muammar Gaddafi yang dibunuh dan negaranya dihancurkan karena ingin membentuk “United State of Afrika” yang mandiri dengan mata uang tunggal dan memilki militer sendiri. (Agus Setiawan)