EkonomiOpini

Mencermati Kinerja Jokowi Urusi Perekonomian Indonesia

Salah satu urusan pemerintahan harus dikerjakan Presiden Jokowi adalah perekonomian Indonesia. Salah satu parameter untuk mengetahui apakah Presiden Jokowi berhasil urus perekonomian Indonesia, yakni pertumbuhan ekonomi.

Parameter pertumbuhan ini dapat dijadikan kriteria kondisi kinerja Jokowi dalam urusan perekonomian Indonesia. Jika Jokowi mampu menciptakan tingkat pertumbuhan ekonomi sesuai dengan sasaran atau target yang diharapkan, baik tertuang di dalam janji kampanye Pilpres maupun RPJMN 2015-2019, maka kondisi kinerja Jokowi tergolong baik dan berhasil. Tetapi, jika tidak, maka tergolong buruk dan gagal!

Dalam  kenyataannya, para pengamat politik dan ekonomi mengklaim perekonomian Indonesia di bawah Presiden Jokowi melorot. Daya beli merosot!

Pada saat kampanye Pilpres 2014 lalu, jika Jokowi dipilih menjadi presiden, ia berjanji akan menjadikan pertumbuhan 8% per tahun.

Di awal pemerintahan Jokowi, dipasang target pertumbuhan ekonomi 7 persen. Tetapi yang didapat 5 persen. Indonesia nomor 6 di Asia Tenggara. Padahal, sebelumnya sempat tertinggi.

Dari parameter pertumbuhan ekonomi selama tiga tahun berkuasa, sesungguhnya Presiden Jokowi telah gagal mencapai target yang diharapkan. Kondisi kinerja Presiden Jokowi urus perekonomian makro tergolong “buruk”.

Pada era SBY sebelum Jokowi berkuasa, pertumbuhan ekonomi dapat tetap terjaga cukup tinggi. Selama kurun waktu 2010-2013 era SBY meski terjadi pelambatan ekonomi global, perekonomian Indonesia rata-rata tumbuh sebesar 6,2 persen dalam periode empat tahun pertama pelaksanaan RPJMN 2010-2014. Namun, perterlambatan ekonomi dunia telah memberi tekanan cukup kuat menurunkan kinerja perdagangan luar negeri.

Baca Juga:  Kamala Harris Khawatir Donald Trump Akan Memenangkan Negara Bagian "Tembok Biru"

Sementara itu, apakah Jokowi mampu mencapai sasaran dan target yang diharapkan itu? Jawaban pasti tidak!

Akhir tahun 2017 ini seharusnya pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah mencapai 7,1 persen. Faktanya?

Bambang Haryo, anggota DPR dari fraksi Gerindra melalui media sosial   menilai Jokowi mampu mencapai hanya 5 persen. Angka ini sangat jauh dari target diharapkan.

Selanjutnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2017 tercatat sebesar 5,06 persen. Saya  menilai hasil pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2017 masih sangat jauh di bawah ekspektasi atau harapan. Jokowi telah gagal urus pertumbuhan ekonomi! Pertumbuhan ekonomi stagnan 5 persen. Indonesia tertinggal dari negara-negara tetangga.

Satu sumber menunjukkan kondisi obyektif pertumbuhan ekonomi  di subregional (ASEAN) sekarang diperkirakan 5,0% pada 2017 dan 5,1% pada 2018. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,06% pada 2017 dipastikan berada di bawah rata-rata ASEAN. Indonesia tertinggal jauh di bawah Philipina yang tumbuh 6,9% dan Vietnam 6,4%.

Lebih ironis lagi, penilaian negatif muncul dari anggota rezim Jokowi. Yakni  Bambang Brodjonegoro, Kepala Bappenas. Mantan Menteri Keuangan ini pada 2016 lalu, seperti ditulis berbagai media menilai, kondisi perekonomian Indonesia sekarang mirip saat dijajah Belanda (Kompas, 12/11/2016). Mereka menjajah dengan menjarah rempah-rempah dan komoditas lainnya yang dikirim ke negaranya. Indonesia saat dijajah oleh Belanda sumber daya alam Indonesia dikeruk habis, bahkan ada gerakan tanam paksa. Kondisi ini menyerupai kondisi Indonesia saat ini yang mengandalkan sumber daya alam untuk diekspor. Saat ini Indonesia banyak diminta asing untuk mengekspor hasil tambangnya dengan menawarkan nilai tambah yang cukup menggiurkan. Tawaran-tawaran tersebut tidak terlepas dari agenda politik yang sudah tersusun rapi.

Baca Juga:  Bersama Rakyat, Cabup Gus Fawait Terdepan Tolak Tambang Emas di Silo Jember

Menarik sekali, meskipun Bambang Brodjonegoro pejabat tinggi pemerintah dan anggota Kabinet Jokowi, dia tetap beri suara kritis dan pengakuan kondisi buruk perekonomian Indonesia. Maknanya, ia mengakui rezim Jokowi gagal merubah kondisi perekonomian lebih baik.

Kondisi perekonomian Indonesia kini juga ditandai dengan daya beli masyarakat melemah. Hasil survei The Nielsen Company Indonesia (Nielsen) menyimpulkan, ada penurunan daya beli masyarakat kelas menengah dan bawah. Hal ini terlihat dari September 2017, sektor fast moving consumer good (FMCG) mengalami perlambatan pertumbuhan di mana growth hanya mencapai 2.7%, sedangkan rata-rata pertumbuhan normal tahunan mencapai 11%.

Perlambatan ini disebabkan oleh kelas menengah bawah (mid low class) sebagai pemegang porsi besar mengalami perlambatan karena menurunnya THP, kenaikan harga utility sehingga berdampak pada pengurangan konsumsi, menahan pembelian impulsif produk dan downsizing.

Kelas atas masih menunggu situasi di mana mereka hanya bertindak ‘wait and see’. Namun ada indikasi di mana pengeluaran di lifestyle cenderung terus bertumbuh.

Baca Juga:  Memilih Ketua MA di Era Transisi Kepemimpinan Nasional

Di dalam diskusi Kampus Perbanas Jakarta 7 November 2017, Rizal Ramli menjelaskan, hal  tersebut bisa dilihat dari penurunan pertumbuhan konsumsi yang saat ini tercatat di bawah 5%. Konsumsi masyarakat Indonesia yang biasanya di atas 5% menjadi salah satu indikator kuat fakta melemahnya daya beli di masyarakat. Susah dibantah, memang telah terjadi penurunan daya beli. Karena biasanya konsumsi itu tumbuh 5,1%, sekarang tumbuh 4,9%.

Tapi, memang tidak berlaku untuk semua kelas ekonomi. Betul-betul terpukul adalah golongan menengah bawah, karena golongan menengah bawah ini begitu daya belinya terbatas.

Pertanyaan berikutnya, mampukah Jokowi merubah kondisi dan memenuhi target pertumbuhan ekonomi tahun-tahun ke depan? Sangat mudah menjawabnya, sangat kecil kemungkinan mampu! Jika mampu, bisa jadi karena dilakukan perubahan struktural terutama tim ekonomi di dalam kabinet.

Oleh: Muchtar Effendi Harahap, Peneliti Senior NSEAS

Related Posts

1 of 47