HankamKolom

Menangkal Eskalasi Ancaman Ideologi Dengan Kekuatan Budaya Etnis Dayak

NUSANTARANEWS.CO – Menurut sejarah politik ideologi di Indonesia, terdapat satu peristiwa konflik ideologik pada tahun 1967, tepatnya di Kalbar (Kalimantan Barat). Pada saat itu, militer berkonflik dengan gabungan dua kekuatan komunis yakni sisa-sia G30 SPKI/1965 dengan PGRS/PARAKU yang dikontrol oleh Komunis Cina, Mao Tse Tung.

Komunis Cina antara lain bernama Wong Khi Chok, Wong Hon, dan The Bu Khiat. Ketiganya menjadi pemimpin PGRS/PARAKU di Kalbar yang bergabung dengan kekuatan Etnis Cina Indonesia (ECI) Kalbar. Bahkan mereka sempat mendirikan negara Kalimantan Utara yang berumur selama 30 jam dan target PGRS/PARAKU adalah menganeksasi Kalbar sebagai bagian dari Negara Kalimantan Utara.

Namun upaya itu berhasil digagalkan TNI, saat itu bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Pekerjaan mereka adalah bertani dan berladang bersama warga etnis Dayak, ECI, dan PGRS/PARAKU.

Ketika konflik terjadi, sangat sukar memisahkan ketiga kelompok itu berhubung mereka berbaur sebagai masyarakat yang memiliki budaya yang mirip. Dengan demikian menurut Letkol Romli, PGRS/PARAKU sangat kuat karena mereka tidak kekurangan logistik.

Baca Juga:  Transisi Tarian Dero Menjadi Budaya Pop

Kekuatan PGRS/PARAKU baru bisa diatasi ketika Pangdam XII/Tpr Brigjen TNI Musanif Ryacudu mengeluarkan instruksi bahwa “semua orang Cina di gunung-gunung/kampung-kampung, segera mengungsi ke kota dalam tempo 4×24 jam. Jika tidak mengungsi, maka semuanya dianggap PKI dan PGRS/PARAKU”.

Semula ECI tidak menghiraukan instruksi Pangdam Ryacudu, bahkan mereka tetap bertahan di gunung-gunung/kampung-kampung di Kalbar. Menjelang batas waktu toleransi berakhir, Panglima-Panglima Dayak yang sudah siap membantu TNI menumpas PGRS/PARAKU, mengeluarkan budaya “Mangkok Merah” bahwa semua orang Cina adalah komunis dan oleh karena itu adalah musuh orang Dayak yang harus ditumpas bersama PGRS/PARAKU.

Setelah “Mangkok Merah” diedarkan Panglima-Panglima Perang Dayak langsung bergerak dengan caranya sendiri yaitu budaya perang Dayak dengan menggunakan senjata Mandau. Hasilnya dalam waktu relatif sebentar 75.000 jiwa orang Cina mengungsi ke kota sedangkan sisanya terbunuh oleh pasukan “Mangkok Merah”.

Isi kebudayaan dan wujud kebudayaan dari Koentjaraningrat nyata terdapat dalam kebuadayaan etnis Dayak di Kalimantan. Ketujuh isi kebudayaan universal dan tiga wujud kebudayaan adalah dalam masyarakat etnis Dayak.

Baca Juga:  HUT TNI-79: Kodim Nunukan Gelar Lomba PBB Tingkat Pelajar

Dengan demikian, maka etnis militansi serta patriotisme etnis Dayak untuk negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terbukti tidak dapat diragukan. Bahkan mereka terbukti memberikan kontribusi yang maksimal dalam mempertahankan ideologi Pancasila dari upaya aneksasi Komunis dalam wujud PGRS/PARAKU.

*M. Dahrin La Ode, Penulis adalah Direktur Eksekutif Center Institute of Strategic Studies (CISS) dan penulis buku “Etnis Cina Indonesia dalam Politik”.

Related Posts

1 of 8