Opini

Gugatan UUD 45 Palsu dan Implikasi Makar

Direktur Executive CISS dan Ahli Politik Etnisitas, M. Dahrin La Ode (Istimewa)
Gugatan UUD 45 Palsu dan Implikasi Makar tulisan karya Dr. M.D. La Ode, M.Si. Penulis Adalah Sekretaris Jenderal DPP FBN RI (Foto Istimewa)

Artikel ini menelaah dua bagian substantif pertama, gugatan UU 45 Palsu dengan fokus nama dan isi UUD 45 hasil amandemen. Bagian kedua, implikasi gugatan dengan fokus pada stabilitas politik dan keamanan nasional serta terhadap penggugatnya.

UUD ’45 Hasil Amandemen Digugat Karena Dianggap Palsu

Penggugat tunggal UUD ’45 hasil amandemen di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dr. Zulkifli S. Ekomei, menyatakan  “sebanyak 4 kali amandemen hingga 2002 kita dirancukan penamaan UUD ’45. Padahal UUD ’45 kembali berlaku melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikukuhkan secara aklamasi 22 Juli 1959 oleh DPR. Kata dr. Zulkifli, ini beda dan dirubah tapi nama sama. Ini pemalsuan. Kalau musti dirubah, pakai nama baru”(disadur dari Kabar Today, 28/10/2019). “Ia menemukan bukti bukti sejak proses amandemen tahun 1999 sampai 2002. Banyak proses tidak benar dan isinya sudah berubah. Ada 80 persen tidak sesuai lagi dengan yang diberikan pendiri RI” (disadur dari Tribunnews.com 31/10/2019).

Pasca amandemen UUD ’45 dari 1999-2002 sudah beda; sudah dirubah dari aslinya; bahkan 80 persen visi dan misi UUD ‘45 tidak sesuai dengan penggarisan The Founding Fathers RI. Menurut dr. Zulkifli, ini adalah pemalsuan. Perihal ini menarik ditelaah lebih lanjud melalui pemahaman arti kata palsu yang dihubungkan fungsi isi perintah UUD ’45 hasil amandemen.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indoesia edisi ketiga bahwa palsu berarti tidak tulen; tidak sah; lancung. Untuk konkritnya diterakan dua contoh proses pemalsuan. Pertama, “upaya atau tindakan memalsukan ijazah dengan meniru bentuk aslinya”. Kedua, “upaya atau tindakan memalsukan sertifikat dengan membuat bentuk atau penandatanganan yang serupa dengan aslinya”.

Arti dan contoh konkrit palsu dan proses pemalsuan ijazah dan sertifikat di atas dirujuk guna menelaah atau menganalisis objek gugatan dr. Zulkifli bahwa UUD ’45 hasil amandemen 1999-2002, palsu. Para pihak tergugat “pelaku pemalsuan” adalah Pimpinan MPR RI, Pimpinan DPR RI, Pimpinan DPD RI, Presiden RI, Pimpinan sembilan parpol, Panglima TNI, Kapolri, Triumvirat (Menhan, Mendagri, Menlu).

Baca Juga:  Oknum Ketua JPKP Cilacap Ancam Wartawan, Ini Reaksi Ketum PPWI

Antara 1999-2002 MPR RI, Pimpinan DPR RI, Pimpinan DPD RI, dan Presiden RI bekerja secara institusional resmi melakukan amandemen UUD 45 asli menjadi UUD ’45 hasil amandemen 1999-2002. Satu di antara hasil proses kerjanya pada UUD 45, semula  pasal 6  ayat (1) Presiden ialah orang Indonesia asli; ayat (2) Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak. Pasal ini secara institusional resmi diamandemen/dirubah menjadi pasal 6 ayat  (1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden; ayat (2) Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.

Contoh itu mempertegas bahwa Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UUD ’45 asli dengan pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UUD ’45 hasil amanedemen sudah berbeda punyi dan sudah berubah pula perintah/amanatnya.  Sehingga gamblang sekali  bahwa perbedaan antara pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UUD ’45 asli dengan pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UUD ’45 hasil amandemen berdasarkan hasil konsensus nasional secara resmi berbeda tapi sah. Menurut gugatan dr. Zulkifli bahwa “perdedaan bunyi dan perubahan perintah/amanat” pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UUD ‘1945 hasil amandemen di atas sebagai bukti “pemalsuan” sebab “namanya tetap UUD ’45”. Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia seperti proses pemalsuan ijazas dan sertifikat di atas bahwa “upaya atau tindakan memalsukan dengan membuat bentuk atau penandatanganan yang serupa dengan aslinya”. Proses amandemen UUD ’45 bukan upaya memalsukan bentuk dan tanda tangan aslinya, melainkan dirubah hingga berbeda dengan aslinya baik bunyinya maupun perintah/amanatnya. Proses pelaksanaannya oleh institusional negara secara resmi untuk kepentingan politik negara bukan untuk tujuan kejahatan seperti upaya pemalsuan sertifikat dan ijazah di atas. Jadi hasil proses amandemen UUD ’45 dengan contoh kasus pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) di atas adalah kebenaran politik dan kebenaran hukum. Sedangkan objek gugatan dr. Zulkifli S. Ekomei kabur dari aspek politik dan kabur pula dari aspek hukum. Jadi gugatan dr. Zulkifli S. Ekomei kabur.

Baca Juga:  Presiden Resmi Jadikan Dewan Pers Sebagai Regulator

Implikasi Sanksi Makar

Oleh karena objek gugatan UUD ’45 Palsu oleh penggugat tunggal dr. Zulkifli “kabur” menurut aspek politik dan “kabur” pula menurut hukum, dan sudah terpublikasi secara luas, tentu berimplikasi politik dan hukum sebagai berikut ini.

Pertama, menyesatkan opini politik publik bahwa negara kita pada saat ini menggunakan UUD ’45 palsu. Objek “issue politik sesat” ini, mengarah secara khusus kepada pihak Pemerintah RI menjadi pihak yang disalahkan oleh publik politik nasional. Dalam konflik sosial politik ini bisa memotivasi “orang tertentu hingga menjadi kelompok tertentu” untuk berkonspirasi meyakinkan Majelis Hakim yang memerikasa perkara gugatan dr. Zulkifli untuk diterima seluruhnya. Dengan perihal ini, maka akan terjadi kekosongan kekuasaan dan segera disusul dengan konflik politik massif nasional dalam kekuasaan kondisi kekuasaan vakum.  Menurut Prof. Dr. Mahfud MD bahwa “kekuasaan tidak boleh kosong satu malam, walaupun penguasanya dzolim”. Ini berhubungan dengan tindakan makar.

Baca Juga:  Catatan Kritis terhadap Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024

Kedua, menurut Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH bahwa “siapa yang mendalilkan dia wajib membuktikan”. Konsekwensinya, jika dr. Zulkifli tidak bisa membuktikan tuduhan kepada semua pihak di atas sebagai pemalsu UUD ’45 hasil amandemen, ia bisa dituntut balik oleh para pihak tergugat dengan perbuatan fitnah dan rencana perbuatan makar dengan menggakan dalil UUD ’45 palsu.

Ketiga,  secara akatif pengaruh guggatan dr. Zulkifli ini sudah memikat siapa saja? Dari peta deskriptif pihak terpengaruh ini bisa dilakukan deskripsi kekuatan, kelemahan, kemungkinan bertindak, dan niat. Terkait dengan niatan sudah terbukti kuat dengan tanda dr. Zulkifli menggugat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Jadi jelas sekali implikasi gugatan dr. Zulkifli berada dalam “ruang hukum makar” yakni kejahatan terhadap keamanan negara. Dalam Pasal 104 KUHP berbunyi bahwa “makar dengan maksud untuk membunuh, atau perampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden dan Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara  seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun”. Implikasi gugagatan dr. Zulkifli yang sudah tampak jelas adalah “meniadakan kemampuan Presiden dan Wakil Presiden memerintah”. Sedangkan yang masih samar ialah unsur “pembunuhan”. Tindakan ini bisa dialami oleh siapa pun mana kala konflik massal telah terjadi yang di antaranya kerusuhan sosial politik.

*Dr. M.D. La Ode, M.Si, Penulis Adalah Sekretaris Jenderal DPP FBN RI

Related Posts

1 of 3,056