NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Menjelang dihelatnya Pilpres 2019, capres Jokowi dinilai cenderung membuka cakrawala berpikir yang dilandasi populisme. Janji-janji populis Jokowi dikait-kaitkan dengan ideologi politik sosialisme.
Kecenderungan Jokowi ini memang patut menjadi bahan diskursus. Bagaimana pun, Indonesia bukan negara sosialis dan tidak menganut ideologi sosialisme.
Janji-janji dan sejumlah program Jokowi seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Pra Kerja dinilai bercorak sosialis. Termasuk juga soal ancang-ancang Jokowi untuk membuat Perpu Hak Guna Usaha (HGU) yang disebut-sebut sebagai gerakan revolusi pemilikan lahan.
Menurut aktivis Natalius Pigai, deretan janji dan program Jokowi yang bernuansa populis tersebut tak lain demi mendongkrak elektoral untuk memenangi Pilpres 2019.
Contoh paling aktual ialah janji Jokowi soal Kartu Pra Kerja. Demi ekektoral, Jokowi berjanji menggaji para pencari kerja lewat kartu ‘sakti’ ini. “Kepanikan terlihat dari adanya berbagai janji-janji yang bersifat populis dengan tujuan untuk meningkatkan elektoral, meskipun pada akhirnya hanyalah janji utopis,” kata Pigai.
Kebijakan populis yang berorientasi untuk memulung elektabilitas bukan perkara baru. Menurut Pigai, praktik tersebut tercermin pada Pemilu Venezuela yang dikampanyekan Nicolas Maduro. Walhasil, kekisruhan politik negara beribukota Caracas itu meletus. “Dampaknya negara Venezuela terjungkal bebas dalam jurang krisis, resesi ekonomi dan krisis politik. Karena itu tawaran-tawaran program populis lebih cenderung disebabkan karena pemimpin cenderung ambisius dan kehilangan kepercayaan publik,” sebutnya.
Praktik sistem politik sosialisme keliru, kata dia. Apalagi bila Jokowi hendak menirukannya di Indonesia. Benar eks walikota Solo itu berusaha menterjemahkan Pasal 33 UUD 1945. Tapi mengambilnya tanpa konsepsi akdemik yang matang dan landasan konstitusi yang esensial. Akhirnya, menjadi kebijakan yang inkonsitusional.
“Harus diukur apakah kebijakan populis sejalan dengan konstitusi dan sistem politik yang dianut oleh negara Indonesia,” katanya.
Selain itu, para pembantu Jokowi di pemerintahan cenderung bekerja mengikuti logika ketersediaan anggaran dan mengabaikan logika konstitusi (policy flow contitution).
Alhasil, meskipun bukan negara sosialis, pemerintahan Jokowi-JK cenderung mempraktekan sistem sosialisme melalui kebijakan dan program. “Jokowi jangan keliru menterjemahkan Pasal 33 UUD 1945 terutama frasa ‘negara menguasai’,” kata Natalius.
Filosofi Pasal 33 UUD 1945 adalah otoritas negara untuk mengatur pola hubungan hukum antara manusia dan air, manusia dan udara serta manusia dan tanah. “Itu inti dari jiwa Pasal 33, bukan membagi-bagikan sumber daya negara untuk membius rakyat,” ucapnya.
Menyadari kondisi tersebut, para elite pemerintahan Jokowi-JK mesti sadar bahwa tidak ada praktik sosialisme yang sukses di dunia tanpa fundamental ekonomi yang kuat. Termasuk termasuk memperkuat basis perekomian melalui produktifitas domestik baik sektor migas dan non migras, sektor jasa, industri dan agrikultur.
Kata Natalius, kebijakan populisme bernafas sosialisme idak mampu menghadapi arus kapitalisme dan liberalisme di bawah payung punggawa ekonomi dan politik dunia yakni WTO, IMF, World Bank dan PBB.
Praktik sosialisme Ujamaa di Tanzania di bawah kepemimpinan Julis Nyerere kandas yang pernah dicontoh pemerintahan Soeharto kandas. Begitu pula di bawah kepemimpinan Mao Zedong mengakibatkan rakyat Tiongkok menderita untuk sekadar bertahan hidup dan mendapatkan makanan pada tahun 1960-an silam.
“Itulah kegagalan praktik sosialisme yang sudah tidak kompetitif dan terkubur di abad 20. Sistem sosialisme telah membuat orang menjadi bodoh dan pemalas, apalagi di tengah arus liberilasi, globalisasi dan kompetisi dalam dunia tanpa batas (borderless nations),” kata Nataliuis menyitir pernyataan Kenichi Ohmae.
Karenanya, Jokowi diminta tak lagi asal mengumbar janji-jani utopis yang berlandaskan praktik sosialisme. “66 Janji Jokowi untuk 2014-2019 hanya cita-cita utopis belaka. Mudah diucapkan, enak didengar, tetapi sulit diwujudkan,” katanya.
(eda)
Editor: Eriec Dieda