ArtikelKolom

MENAKAR KEBIJAKAN DARURAT COVID-19 DI INDONESIA

Menakar Kebijakan Darurat Covid-19
Menakar Kebijakan Darurat Covid-19. Polisi di India barat menembakkan gas air mata untuk membubarkan kerumunan pekerja migran yang menentang penutupan tiga minggu terhadap virus corona yang telah menyebabkan ratusan ribu orang miskin tanpa pekerjaan dan kelaparan./Foto: Fidar News

Menakar Kebijakan Darurat Covid-19

Pandemi Covid-19 yang saat ini melanda berbagai belahan dunia, telah mendisrupsi sendi-sendi tatanan masyarakat, tidak terkecuali di Indonesia.
Oleh: Lukman Santoso Az & Lutfil Ansori

Dimensi sosial, ekonomi dan politik mengalami goncangan dahsyat. Di tengah berjibaku dengan berbagai kecemasan publik akibat hantaman wabah Covid-19 yang begitu cepat. Pemerintah Indonesia akhirnya menerapkan kebijakan pemberlakuan darurat kesehatan diikuti pembatasan sosial berskala besar. Dan tidak mengambil opsi kebijakan karantina wilayah atau bahkan lockdown sebagaimana diterapkan dibeberapa negara.

Keputusan tersebut disampaikan Presiden Jokowi (31/3/2020) dalam rangka memberi payung hukum berbagai kebijakan yang selama ini hanya sebatas himbauan. Presiden setidaknya mengeluarkan 3 produk hukum. Keputusan Presiden (Keppres) No 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM) Covid-19, Peraturan pemerintah (PP) No 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka percepatan penanganan Covid-19, dan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undangn (Perppu)  No 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19.

Pilihan penerapan kebijakan PSBB yang diambil pemerintah pusat tentu mengejutkan sekaligus menarik untuk dicermati. Meski keputusan ini dianggap sebagian pihak terkesan lambat dan kurang tepat – setidaknya produk hukum ini telah menjadi payung hukum dari berbagai tindakan pemerintah dalam rangka menghambat laju penyebaran Covid-19.

Dalam kerangka PSBB, penerapan pro justitia akan dilakukan terhadap para pelanggar. Tentu kita berharap kebijakan ini berjalan efektif dan mampu menangkal persebaran wabah Covid-19. Karena jika kebijakan ini gagal, sebagaimana disampaikan oleh Presiden Jokowi, pemerintah baru akan mengambil opsi lain, dan dapat dimungkinkan memilih opsi Darurat Sipil sebagaimana diatur dalam Perppu No 23/1959.

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Pembatasan sosial tidak bisa dilepaskan dari status KKM. Pasal 1 angka 2 UU No. 6/2018 menyebutkan KKM adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara. Maka, sudah jelas bahwa penyebaran Covid-19 dapat dikategorikan sebagai keadaan darurat kesehatan masyarakat yang meresahkan.

Keadaan Darurat

Tentu sangat urgen menempatkan pamdemi Covid-19 sebagai keadaan darurat (bahaya).  Sehingga, pijakan hukum yang digunakan pemerintah terkait penanganan Covil-19 adalah perspektif tatanegara darurat.

Menurut Jimly Asshiddiqie (2007), terdapat tiga peristiwa yang menyebabkan ditentutakannya suatu keadaan darurat, yaitu (1) keamanan dan ketertiban yang dianggap akan mengganggu; (2) terjadinya perang; dan (3) keadaan khusus yang membahayakan hidup negara.

Keadaan khusus inilah yang di dalamnya termasuk faktor bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus dan lain-lain, serta faktor bencana non alam, seperti gagal teknologi, epidemi dan wabah penyakit Sehingga jelas, keadaan bahaya (darurat) itu bukan diakibatkan perang semata, tetapi dapat juga terjadi karena bencana alam maupun non alam.

Wabah Covid-19 merupakan bencana non alam. Hal ini selaras dengan UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana yang menyebutkan ada tiga kelompok bencana yaitu bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial. Ketentuan terkait bencana non alam ini diatur secara eksplisit di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang tersebut yang salah satunya diakibatkan oleh penyebaran wabah penyakit.

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Keadaan darurat atau state of emergency didasarkan atas doktrin yang sudah dikenal sejak lama, yaitu prinsip adanya keperluan (necessity principle). Dengan bersandar pada keadaan darurat, pemerintah bisa bergerak dengan cepat dan leluasa untuk menangani keadaan ini.

Dalam keadaan darurat (bahaya) itu Presiden diberi kekuasaan untuk membuat Perppu yang dapat menerobos segala aturan yang ada dalam rangka mengatasi keadaan darurat agar dapat bertindak lekas, cepat dan tepat. Maka, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan Pemerintah, perlu kontrol yang ketat dari DPR dan Civil Society.

Selain itu, penerbitan Perppu bisa menjadi jalan tengah untuk melengkapi Undang-Undang Karantina Kesehatan ditengah kontroversi opsi darurat sipil. Substansi penting yang perlu diatur dalam Perppu itu adalah memberikan pembatasan pergerakan orang-perorangan keluar rumah. Karena diakui atau tidak, bangsa kita dihadapkan pada fakta adanya kebutuhan hukum tentang keadaan darurat yang relevan dengan perkembangan zaman saat ini. Sementara hukum darurat yang ada, yakni Perppu No 23/1959 cenderung militeristik dan sudah usang.

Akhirnya, keadaan darurat (bahaya) akibat wabah Covid-19 ini menjadikan pelajaran berharga akan pentingnya keberadaan undang-undang darurat. Sudah saatnya hukum tata negara darurat kita dievaluasi dan ditata kembali. Menilik praktik di berbagai negara, setidaknya ada tiga catatan penting untuk penataan hukum tata negara darurat ke depan. Pertama, keadaan darurat (bahaya) itu harus dideklarasikan oleh kepala negara. Bentuk deklarasi atau pernyataan itu dapat dituangkan melalui Keputusan Presiden.

Kedua, jangka waktu berlakunya keadaan darurat tersebut harus dibatasi. Misalnya tiga bulan, lalu boleh diperpanjang enam bulan dengan persetujuan DPR. Dan ketiga, pernyataan deklarasi keadaan darurat (bahaya)dari Presiden itu harus bisa diuji oleh pengadilan. Aspek ini sangat penting sebagai upaya penerapan prinsip checks and balances untuk mengimbangi besarnya kekuasaan Presiden sebagai penguasa darurat. Hal ini juga untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pemerintah dalam menjalankan hukum darurat.

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Hadirnya negara untuk melindungi warga negaranya dengan pembatasan pergerakan orang keluar rumah untuk mencegah penularan virus tentu bukan persoalan yang mudah, terlebih jutaan orang bekerja disektor informal. Karena itu, aspek ketegasan dan kejelasan dalam implementasi regulasi ini menjadi kunci.

Salah satu ciri birokrasi modern dalam pemerintahan dapat dilihat dari adanya struktur yang tegas dari pusat sampai daerah. Sekaligus pendelegasian wewenang yang jelas sesuai tanggungjawabnya. Jangan sampai pemimpin di daerah justru memberi tafsir yang berbeda atas kebijakan ini.

 Mengamini apa yang dikatan Hifdzil Alim (2020), bahwa bukan soal benar salahnya membuat kebijakan penanganan wabah Covid-19 ini.  Tetapi terkait perihal pilihan-pilihan kebijakan pemerintah untuk melindungi rakyatnya, karena bagaimanapun keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi (salus populi suprema lex esto). Tidak perlu lagi berpolemik antar penyelenggara negara, karena kebaikan rakyat adalah tujuan. Sebagaimana kaidah hukum dalam Islam, Tasharruful imamala al-raiyyah manutun bi al-maslahah (kebijakan pemimpin atas rakyatnya  adalah untuk mewujudkan kemaslahatan).  Semoga !

Penulis:
Lukman Santoso Az, Pemerhati Hukum Kebijakan IAIN Ponorogo: Peserta Program Doktor Ilmu Hukum UII Yogyakarta.
Lutfil Ansori, Pemerhati Perundang-Undangan UIN Sunan Ampel Surabaya: Peserta Program doktor Ilmu Hukum UII Yogyakarta

 

Related Posts

1 of 3,050