NusantaraNews.co, Jakarta – Ada dua kasus mega korupsi yang sedang ditangani KPK yang dinilai berpotensi mangkrak. Pertama, mega korupsi penyuapan di perusahaan pelat merah, Garuda Airlines, yang melibatkan Direktur Utama Garuda, Emirsyah Satar dan Sutikno Sudaryo. Kedua, adalah dugaan kasua mega korupsi Sumber Waras, yang melibatkan Kartini Mulyadi dan mantan Gubernur Ahok.
“Dari dua kasus korupsi tersebut, kita dapat melihat tali temali atau gurita “rezim maling” yang menjerat Indonesia saat ini. Jika ditelisik lebih dalam, terkuak fakta, ternyata tersangka korupsi Garuda Airlines, Sutikono Sudaryo, adalah bekas anak mantunya Kartini Mulyadi,” terang Juru Bicara Presidium Nasional Kaukus Muda Berantas Korupsi (KMBK), Soeleman Harta, di Jakarta, Jumat, 27 Oktober 2017.
Dari dua kasus korupsi yang melibatkan Kartini Mulyadi dan bekas anak mantunya Sutikno Sudaryo, kata Soeleman, dapat disimpulkan bahwa mentalitas maling di negeri ini dibangun dari dinasti keluarga, lalu menular menjangkit kepada orang-orang sekitarnya, hingga menjangkit seluruh politisi dan pejabat negara.
Mega Korupsi Garuda Airlines
Menurut KPK, pendiri PT Mugi Rekso Abadi yang disebut SS, Sutikno Sudarjo, memberi suap kepada mantan Dirut Garuda, Emirsjah Satar, dalam bentuk uang sebesar sekitar Rp. 20 miliar serta barang setara Rp 26,76 miliar yang tersebar di Indonesia dan Singapura.
“Pemberian tersebut diduga untuk memenangkan proyek pengadaan 50 pesawat Airbus A330 dan mesin pesawat dari Airbus S.A.S dan Rolls Royce Plc kepada PT Garuda Indonesia, dalam kurun 2005-2014,” jelasnya.
Dugaan Mega Korupsi Sumber Waras
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo, pada bulan Desember 2016, saat bertemu dengan BPK, mengatakan ada fakta baru terkait penyelidikan kasus korupsi Sumber Waras. “Saya dapat info soal fakta baru kasus Sumber Waras. Makanya BPK mau ketemu KPK, ya dalam waktu dekat inilah, kelihatannya ada bukti baru,” kata Agus beberapa waktu lalu.
Sebelumnya, sambung Soeleman, menurut hasil pemeriksaan BPK Perwakilan Provinsi DKI, pembelian lahan seluas 36.410 meter persegi itu tidak melalui proses pengadaan yang sesuai dengan prosedur. Dalam auditnya BPK menilai pembelian lahan dengan menggunakan harga Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) zona Kyai Tapa bukan Tomang Utara tidak sesuai.
Seperti diketahui, kata dia, Pemprov DKI membeli lahan RS Sumber Waras dengan harga Rp 755.689.550.000. Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama (Ahok) menyebut nilai itu didapat dari NJOP tahun 2014.
“Dalam laporan hasil pemeriksaannya, BPK membandingkan harga NJOP Jalan Kyai Tapa yang digunakan Pemprov pada 2014 dengan harga pada 2013 lalu saat PT Ciputra Karya Utama (PT CKU) membeli seluas 36 hektar seharga Rp 755 miliar,” ungkapnya.
“Sehingga dari situ terdapat selisih Rp 191 miliar. Karena itu dapat disimpulkan terdapat kerugian negara sebesar Rp. 191 milyar dalam penjualan lahan Sumber Waras di era kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama,” imbuh Soeleman.
BPK DKI berargumen, lanjut dia, sebagian lahan yang dibeli Pemprov menggunakan harga NJOP zonasi Jalan Kyai Tapa seharga Rp 20,755 juta. Sedangkan menurut BPK lokasi tersebut seharusnya mengikuti harga NJOP Jalan Tomang Utara senilai Rp 7 juta.
“Dua kasus korupsi yang melibatkan dinasti Kartini Mulyadi dan bekas anak mantunya, Sutikno Sudarjo tersebut, jika tak diawasi oleh publik, maka kasus korupsi tersebut berpotensi mangkrak seperti kasus korupsi BLBI, skandal Century, korupsi Kondensat, korupsi E-KTP, dll,” tandas Soeleman.
Pewarta/Editor: Ach. Sulaiman