Cerpen

Matinya Seorang Penulis Muda, Cerpen Joko Priyono

Menulis Kematina. (Lukisan - The Death of Marat)
Menulis Kematian. (Lukisan – The Death of Marat)

Matinya Seorang Penulis Muda

Cerpen Joko Priyono

Namanya Sujan. Anak muda yang baru saja mendapatkan kabar melalui surat elektroniknya bahwa naskah novel yang ia tulis telah diterbitkan menjadi buku dari salah satu penerbit yang ada di Jakarta. Wajahnya kala itu sangat begitu sumringah. Begitu bahagianya ia, akhirnya cita-cita menjadi seorang penulis keturutan juga. Ia kemudian masuk dalam dnia imajinasinya.

Terbayang-bayang bagaimana buku-bukunya nanti laris terjual dalam waktu yang singkat. Best seller.

Naskah novel yang pada akhirnya diterbitkan itu sebenarnya telah diikutkan dalam beberapa kompetisi lomba kepenulisan, baik tingkat daerah hingga nasional. Namun, semuanya kandas, tak membuahkan hasil—menang maupun juara. Bukan berarti naskahnya buruk maupun tidak laik, tetapi karena faktor pengalaman yang menjadi dasar. Ia masih terkalahkan oleh para penulis yang sudah mapan dan menghasilkan banyak karya.

Keputusannya untuk menjadi seorang penulis, tatkala semenjak setahun silam, ia diputuskan oleh pacarnya. Kesedihannya muncul, karena pacarnya lebih memilih orang lain yang juga merupakan seorang penulis. Untuk membuktikan bahwa ia juga bisa seperti lelaki itu, ia kemudian banyak menghabiskan berjam-jam dalam setiap hari untuk menghasilkan tulisan-tulisan yang bagus dan renyah dibaca. Ia tidak segan untuk membeli buku-buku, kemudian dibaca—ia berharap akan membantu dalam prosesnya.

***

Matahari merekah dan pagi semakin menjelma menuju siang. Sujan sudah mulai menulis kembali dengan menggunakan komputer lawas hasil pemberian dari ibunya. Sujan kemudian punya watak yang berbeda semenjak keseringan menggunakan waktunya untuk menulis. Saat menemukan puncak fokus dan gairah dalam menulis, ia sudah tidak bisa bahkan tidak mau diganggu. Sekalipun saat ibunya meminta bantuan. Pagi hari itu ibunya meminta dirinya untuk pergi ke warung.

“Le, minta tolong dibelikan minyak satu kilo!” pinta ibunya.

“Hah. Sebentar, Bu.”

Mendengar jawaban dari Sujan, ibunya tak memberikan respon yang lebih. Ia menyadari, mungkin anaknya sedang sibuk-sibuknya mengerjakan sesuatu di kuliahnya, meskipun waktu itu sedang berada di masa liburan semester ganjil.

Sujan tak beranjak juga dari sebuah kursi yang digunakannya untuk melakukan aktivitas menulis. Ia begitu menikmati. Asyik-masyuk berpetualang di dunianya dan terus berimajinasi. Sampai-sampai yang dilakukannya terkadang melupakan hal lain, seperti makan, minum, mandi maupun ganti pakaian. Semenjak punya kebiasaan getol menulis, badannya terus kurus dan penampilannya acak-acakan tak karuan.

***

Lima hari setelah mendapatkan bahwa bukunya telah terbit, Sujan kemudian mendapatkan pesan melalui surat emailnya bahwa buku-bukunya telah beredar di beberapa toko yang ada di Jakarta. Kegembiraan dalam hidupnya seolah bertambah. Bertubi-tubi dan semakin menjadi-jadi. Ia yakin bahwa karirnya menjadi seorang penulis sudah sukses. Ia merasa hidupnya sedang naik daun. Tetangga, teman karib hingga keluarganya pun memberikan apresiasi atas pencapaiannya itu. Bahkan ada yang sempat menanyakan terkait mengenai berapa besar pendapatan yang didapatkan setelah menjadi penulis.

“Loh, kenapa baru dijual di toko-toko daerah Jakarta saja, Le?” tanya ibunya saat mengantarkan secangkir kopi panas ke dalam kamarnya.

“Karena baru menerbitkan satu kali di penerbit itu, Bu. Memang itu merupakan aturan dari perusahaan,” jawabnya dengan jari-jemarinya masih mengetik pada sebuah komputer. “Setelah bisa menerbitkan kedua dan seterusnya, nanti bisa beredar ke toko buku seluruh Indonesia,” pungkas ia.

“Owh, syukurlah. Semoga dirimu beruntung.”

Semenjak itu, hari-harinya tidak terlepas dari buku, komputer, dan kopi dalam banyak waktu di setiap harinya. Ia menguras habis-habisan baik energi maupun waktu untuk terus menulis. Menuangkan ide maupun gagasan dalam bentuk kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf hingga menjadi sebuah naskah tulisan yang utuh. Tak ayal, ia kemudian memilik ambisi untuk meniru gaya tulisan tatkala membaca karya-karya dari banyak penulis yang sudah terkenal.

Di sela-sela proses pemuncakannya dalam menulis saat itu, ia terpikirkan ingin pergi menuju ke Jakarta untuk beberapa hari.

Tujuannya adalah untuk melihat secara langsung buku-buku karyanya yang terpampang di rak toko-toko buku tempat didistribusikannya. Secara hitung-hitungan, biaya sekali perjalanan dari rumahnya membutuhkan uang sebesar seratus ribu rupiah. Maka, untuk pulang pergi, setidaknya ia harus mempersiapkan dua ratus ribu rupiah. Di dompetnya ia mnyimpan uang sebesar tiga ratus lima puluh ribu rupiah.

***

Pada malam harinya, selesai makan malam, Sujan meminta restu dari ibunya akan niatan untuk ke Jakarta. Selain untuk melihat anak kandung pikiran yang dilahirkannya, ia punya alasan lain tatakala memiliki niatan ke Jakarta. Alasan itu adalah menemui kawan lamanya semasa sekolah menegah atas yang bekerja di sana.

“Aku izin ke Jakarta untuk beberapa hari ya, Bu.”

“Ada keperluan apa?”

“Punya niatan untuk melihat karyaku yang telah disebarkan di toko-toko buku sana. Sekalian berkunjung ke kawan lama yang bekerja di Jakarta.”

“Sudah punya biaya?”

“Ada tiga ratus lima puluh ribu rupiah, Bu. Honor dari tulisan yang dimuat pada sebuah media online seminggu yang lalu.”

“Owh, iya. Kalau emang itu terbaik untukmu, berangkatlah, Le. Pesan ibu hati-hati dan selalu jaga diri saat berada di Jakarta,” pungkas ibunya sembari memberikan uang tambahan sebesar dua ratus ribu rupiah. Uang yang sebenarnya untuk kebutuhan sehari-hari dalam waktu tiga hari ke depan.

***

Ia berangkat menuju Jakarta menggunakan kereta pagi yang berangkat dari Stasiun Balapan Solo. Sesuai jadwal, kereta tersebut akan sampai di tempat pemberhentian akhir—Stasiun Pasar Senen pada sore pukul 16:00 WIB. Saat berada di perjalanan, ia masih setia dengan buku-buku yang ia punyai dan dibawa menuju Jakarta sebagai bahan bacaan. Meskipun juga ia mendapatkan kantuknya karena perjalanan cukup jauh itu. Ia tertidur mulai dari sepertiga perjalanan kereta. Tidur pulas dengan kondisi duduk pun harus ia terima.

Hingga pada akhirnya, kereta tiba juga. Ia disambut semburat cahaya berwarna keemasan di langit-langit Jakarta pada sore itu. Senja semakin mewarnai kegembiraan demi kegembiraan dari Sujan. Sesampainya di pintu keluar stasiun, kemudian ia menelpon salah seorang kawan lamanya semasa SMA yang pada hari sebelumnya dikontak—sanggup menjemput kedatangan ia di Jakarta. Tidak lama kemudian, kawannya bernama Mardi sampai di depan Stasiun dan menjumpai ia.

Lama tak bersua, seketemunya mereka berdua meluapkan kerinduan demi kerinduan yang hadir. Berjabat tangan dan berpelukan. Menanyakan kabar antara satu dengan yang lainnya.

“Sehat kabarmu, Jan.”

“Alhamdulillah sehat, Ji.”

Sujan kemudian meminta diantarkan untuk berkeliling ke toko-toko buku yang ada di Jakarta. “Mumpung masih sore, aku minta diantarkan keliling ke toko-toko buku yang ada di daerah Jakarta, ya, Ji,” pinta Sujan dan kemudian Marji mengiyakan meskipun nampak kelelahan setalah bekerja sehari di sebuah perusahaan kain.

***

Sebelas toko buku dikunjungi Sujan dan Marji pada sore hingga malam di hari itu. Wajah pilu dan rasa sesal seolah kemudian terjadi pada diri Sujan. Dari sekian jumlah buku yang ia lihat di katalog masing-masing belum sekalipun yang menunjukkan bukunya laku. Mukanya kaku. Hatinya sangat begitu bergejolak tatkala apa yang diekspektasikan tidak sesuai dengan realitas yang terjadi. Marji, walaupun tidak begitu paham akan dunia tulis-menulis maupun perbukuan merasakan juga kesedihan yang ada di diri Marji.

“Jan, ndak usah bersedih hati, mungkin belum rezeki sampeyan,” ucap ia.

Sujan hanya diam dan beku. Ia tak menginginkan untuk melanjutkan kelilingnya ke toko buku yang berada di Jakarta itu. Ia mengajak Marji untuk menuju ke tempat tinggal Marji. Ia berniat menginap satu malam, sebelum pada keesokan harinya ia akan kembali pulang ke rumahnya. Sebab, ia telah membeli tiket pulang sekalian. Entah apa yang akan ia sampaikan kepada ibunya, yang pasti sampapai malam larut ia tak kunjung memejamkan matanya. Pikirannya kemana-mana. Tak karuan.

Ia menemukan perenungan demi perenungan. Ia menjumpai kesedihan demi kesedihan. Ia dihantui oleh keputusasaan demi keputusasaan. Tak ayal, air matanya mengalir dan membasahi pipinya. Bahkan terbesit dalam pikiran—sekembalinya ke rumah, ia tidak berniat lagi untuk menjadi menulis. Ia juga terpikir untuk membuang maupun membakar buku-buku yang ia miliki. Dunia tulis-menulis akan dihilangkan olehnya. Oh, betapa keputusan yang grusa-grusu dari anak muda yang belum lama belajar menulis itu. #

 

Joko Priyono. Lahir di Boyolali, 5 Agustus 1996. Menempuh studi di jurusan Fiska Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta sejak tahun 2014. Menulis buku Manifesto Cinta (2017) dan Bola Fisika (2018).

 

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]

Baca juga: 10 Hal Yang Harus Diketahui Sebelum Kirim Tulisan ke Nusantaranews.co

Related Posts

1 of 3,057