NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Usai membacakan puisi karya WS Rendra berjudul Megatruh, aktris senior dan juga putri mendiang WS Rendra, Clara Sinta menilai situasi Indonesia saat ini relevan dengan puisi Rendra. Dimana Indonesia tengah berada dalam era Kalasuba. Era dimana Indonesia darurat kembali ke mesin budaya yang asli.
“Megatruh. Megat berarti cerai, ruh adalah roh. Keadaan badan melepas roh. Jadi sebenarnya (yang dimaksud Megatruh adalah) pada kesadaran manusia yang sekarang mulai tidak pada akal sehatnya. Dimana semua dihalalkan,” ungkap Clara Sinta saat bincang bincang santai dengan Bravos Radio yang dipandu wartawan senior, Arief Gunawan, di kawasan Condet, Jakarta Timur, Selasa (9/7/2019).
Di dalam Megatruh ini lanjut Clara, Rendra melakukan pembagian zaman seperti yang pernah disampaikan Ronggo Warsito tentang tiga zaman. Yakni zaman Kalabendu, Kalatida dan Kalasuba.
Era Kalabendu adalah ketika akal sehat sudah tidak diindahkan. Alim ulama, pemimpin agama dan cerdik cendikiawan mengingkari ilmunya. Sementara era Kalatida adalah era dimana stabilitas menguat, namun alat untuk menciptakan stabilitas keamanan itu adalah penindasan. Saat bersamaan ketidakadilan justru didewakan.
Kemudian setelah itu akan tiba era Kalasuba. Era dimana akan terjadi chaos, yang disusul dengan lahirnya kestabilan dan kemakmuran bersamaan datangnya ratu adil.
Untuk itu Rendra mengingatkan kepada Indonesia agar waspada menghadapi era Kalabendu dan Kalatida. Mengacu pada Rendra, menurut Clara Sinta Indonesia saat ini sedang menuju Kalasuba. “Kalau dalam Kalasuba itu akan terjadi chaos,” jelasnya.
Baca Juga: Sosok Rendra di Mata Rizal Ramli
Jika Ronggo Warsito menyebut di era Kalasuba akan datang bersama ratu adil, sebaliknya Rendra memiliki pandangan berbeda. Rendra tetap percaya kemungkinan pasca chaos akan tejadi stabilitas dan kemakmuran, namun kestabilan itu belum tentu baik untuk kelangsungan kedaulatan rakyat dan manusia yang menjadi unsur penting dalam kehidupan secara jasmani, rohani, sosial, intelektual dan budaya.
Untuk itu lanjut Clara, saat memasuki era Kalasuba, Rendra mengingatkan agar bangsa Indonesia perlu membangkitkan dan menguatkan kembali mesin mesin budaya yang asli. Yakni nilai nilai budaya sebagai manusia Indonesia seutuhnya. Dimana bangsa Indonesia harus kembali ke mesin budayanya.
“Mesin budaya itu ketaatan kepada hukum hukum yang tidak tertulis seperti hukum adat, etika hidup bersama,” ungkapnya.
Mengenai chaos, Rendra memakai pendekatan ilmu fisika modern. Yakni ketika terjadi chaos selalu dikuti ’built in’. Dimana ada potensi untuk stabil dan teratur. Tetapi kestabilan itu belum tentu baik untuk kelangsungan kedaulatan rakyat.
Maka mesin mesin budaya dalam setiap individu harus dibangkitkan dan diperkuat, termasuk mengenai tata hukum, tata kenegaraan dan tata pembangunan juga harus berdasarkan mesin mesin budaya.
Menghadapi datangnya Kalasuba ini tidak cukup hanya sekedar sabar dan tawakal, harus ada usaha lain. Rendra tak mengingingkan saat masuk era Kalasuba ini jutru Indonesia dikuasai diktator atau dikuasai kekuasaan asing.
Untuk itu, dalam acara mengenang 1 dekade kepergian Rendra serta memperingati hari kelahiran Rendra pada November 2019 mendatang, tema Megatruh yang dicuplik dari salah satu karyanya Rendra akan dijadikan sebagai momentum untuk merefleksikan situasi bangsa saat ini.
“Kenapa tahun ini mengambil Megatruh dari era Kalatida, Kalabendu dan Kalasuba? Itu tepat sekali. Ada korelasi yang relevan. Bagaimana kita saat ini terpecah belah, bagaimana masing masing merasa paling benar. Kemudian kebenaran bisa ditiadakan,” kata Clara.
“Saya sedih, sepertinya kita kehilangan kedaulatan dalam diri sendiri. Kita menjadi manusia massa, ketika kita harus mengimani atau bergabung pada satu kelompok, tanpa kita mampu merasionalkan. Kita jadi zombi, kita jadi manusia massa,” ujarnya.
Clara Sinta menegaskan, ketika seseorang telah menentukan pilihannya, maka ia harus bisa menjelaskan dasar logikanya. Ketika pikiran dan hati sudah tidak bisa berbicara itu menurut dia telah terjadi chaos di dalam diri.
“Kenapa? Karena kita tidak berdaulat di dalam diri sendiri. Kita takut tidak bisa, kita tidak mampu membuat keputusan dari analisa berpikir kita sendiri,” tandasnya.
Pewarta: Romandhon