NUSANTARANEWS.CO – Program penanggulangan kemiskinan yang isunya telah muncul pada Tahun 1972 telah diatasi oleh Pemerintah dengan berbagai proyek dan program (crash program). Namun, penanggulangan kemiskinan yang berdasarkan pada (based on) Pemberdayaan Masyarakat tahap inisiasinya telah dilakukan melalui Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan Program Pembangunan Prasarana Desa Terringgal (P3DT) pada Tahun 1994. Pada Tahun 1998, Indonesia mengalami krisisekonomi dan politik, dan berdampak pada meluasnya cakupan masalah kemiskinan yang tidak saja terjadi di perdesaan, melainkan juga di perkotaan.
Dengan dasar ini pula, maka Pemerintah merancang Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dan Program Pengembangan Kecamatan di Perdesaan (PPK) yang dimulai pada Tahun 1998. Terdapat beberapa perubahan model program penanggulangan kemiskinan yang telah lebih awal dilakukan oleh IDT dan P3DT, yaitu dari program cepat (crash program) menjadi pemberdayaan masyarakat berdasar pada komunitas (empowering based on community development).
Baca:
- Menyoal Holding BUMN dalam Perspektif Ekonomi Konstitusi
- Menegakkan Ekonomi Konstitusi Melalui Blok Mahakam
- Ekonomi Konstitusi Bisa Tegak Melalui Blok Mahakam
- Ekonom Konstitusi: Menyoal Kemandirian Ekonomi Bangsa
- Ekonom Konstitusi Idealkan Strategi Kebijakan Ekonomi ala Bung Karno
Sistem dan mekanisme program ini juga dirancang berdasarkan keberpihakan yang lebih terseleksi dan prinsip-prinsip yang dituangkan dalam Pedoman Umum (Pedum) dan Petunjuk Teknis Operasional (PTO) masing-masing program. PPK kemudian memberi akronim pada prinsip-prinsip program tersebut dengan sebutan SIKOMPAK (transparanSI, Keberpihakan pada Orang miskin, deMokrasi, Partisipasi, Akuntabilitas, dan Keberlanjutan).
Pusat pengelolaan program dalam pengambilan keputusan akhir alokasi dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) juga berbeda, yaitu di kelurahan untuk P2KP dan kecamatan bagi PPK dengan pola partisipasi dimulai dari tingkat terendah wilayah masing-masing. Ciri yang menonjol dari P2KP dan PPK sebagai program pemberdayaan masyarakat adalah pengelolaan dana BLM yang merupakan hibah dari Pemerintah ini dilakukan secara kelembagaan dengan memfasilitasi proses dan tahapan usulan pembentukan organisasi atau lembaga serta alokasi kegiatan (proyek) yang berasal dari, oleh dan untuk masyarakat melalui proses musyawarah di Kelurahan untuk P2KP dan Kecamatan untuk PPK, yaitu Musyawarah Antar Desa (MAD) sebagai fungsi legislasi dan Unit Pengelola Kegiatan sebagai fungsi ekseskusi (manajemen).
Sampai pada Tahun 2006 kedua program ini dinyatakan sebagai program yang berhasil melakukan percepatan dalam program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat dengan tingkat penyimpangan dana atau korupsi berdasarkan hasil penelitian John Hopskin University Tahun 2002, yaitu sebesar 0,08 persen. Dan, sebagai praktek keberhasilan (best practices) pada Tahun 2007 kedua program ini diintegrasikan menjadi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) Perkotaan dan Perdesaan yang ditandai dengan perluasan (scale up) lokasi dan alokasi program, yaitu untuk semua kelurahan dan kecamatan sampai akhirnya terbit Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa yang memindahkan lokus pengelolaan program kembali ke Desa.
Keberlanjutan Pengelolaan UPK Pasca UU Desa
Pergantian atau estafet kepemimpinan pemerintahan dari Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono kepada Presiden Joko Widodo ditandai dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan hadirnya Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi sebagai kementerian teknis yang berfungsi mengelola pembangunan perdesaan. Berbeda dengan PPK dan atau PNPM, maka sasaran wilayah dan alokasi dana desa mengacu pada UU Desa ini berubah dari Kecamatan menjadi Desa serta BLM menjadi Dana Alokasi Desa atau Dana Desa yang langsung ke Pemerintahan Desa.
Lalu pertanyaannya adalah, bagaimana dengan eksistensi kelembagaan PNPM yang di dalamnya terdapat UPK secara hukum pasca berakhirnya pendampingan program dan kehadiran serta posisi Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) yang diinisiasi oleh Kementerian Desa dan PDTT?
Dengan proses dan mekanisme yang telah mapan berdasarkan prinsip-prinsip SIKOMPAK, maka tidak mungkin kelembagaan PNPM, MAD dan UPK dilebur dalam kebijakan UU Desa melalui kelembagaan BUMDES. Permasalahan utamanya tentu saja terletak tidak saja pada wilayah dan alokasi pengelolaannya, namun juga pada Sumber Daya Manusia (SDM) atau personalia kelembagaan masyarakat yang telah terbentuk dan mapan serta jumlah dana bergulir yang telah terakumulasi sampai Rp 10 Trilyun lebih secara nasional di Kas UPK. Sementara itu, pengelolaan BUMDES yang merupakan implementasi UU zdesa berasal dari Dana Desa disalurkan secara resmi melalui pemerintahan desa yang memiliki rekening desa tersendiri.
Oleh karena itu, dengan latar pembentukan organisasi, proses dan mekanisme yang berbeda, maka sangat tidak mungkin kedua program yang walaupun memiliki tujuan yang sama dalam pembangunan desa dan masyarakat desa, namun diinisiasi dengan pendekatan yang berbeda diintegrasikan. PNPM terbentuk dari, oleh dan untuk masyarakat, sedangkan BUMDES dari pemerintah ke organisasi yang dibentuk pemerinrah desa.
Kelembagaan UPK dalam pelaksanaan Ekonomi Konstitusi
Proses dan mekanisme PNPM yang telah mapan dan membentuk nilai kultural tersendiri harus tetap ditempatkan sesuai ide dan desain awal program sebagai penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat yang telah menginternalisasi pada masyarakat desadan antar desa (komunitas).
Sebagai sebuah sistem, maka proses dan mekanisme di MAD dan UPK merupakan salah satu bagian penting dalam mewujudkan pelaksanaan pasal 33 UUD 1945 dalam membangun perekonomian sebagai Usaha Bersama berdasar azas kekeluargaan (musyawarah) di tingkat desa dan kecamatan. Jika proses dan mekanisme ini diintervensi oleh kehadiran BUMDES dan atau diakuisi menjadi BUMDES, maka tindakan ini tidak saja ahistoris terhadap program, melainkan pelanggaran terhadap konstitusi. Selayaknya eksistensi MAD dan UPK segera diformulasikan dalam bentuk kebijakan yang lebih akomodatif atas keberlanjutan pemberdayaan masyarakat pasca PNPM melalui amandemen UU Desa yang berlaku.
UPK yang pengelolaannya di kecamatan dapat menjadi induk BUMDES sebagai lembaga eksekusi dan akumulasi modal, sedangkan operasinya tetap pada masing-masing wilayah. MAD melalui UPK dapat saja mengambil keputusan membentuk kelembagaa tersendiri di luar BUMDES apabila ada usulan dari masing-masing dalam wilayah kecamatan dan menjadi keputusan bersama yang disepakati dalam Musyawarah Antar Desa (MAD). UPK, dalam konteks ini dapat menjadi embrio lembaga pembiayaan pemberdayaan masyarakat antar desa yang terap menjalankan mekanisme dan prinsip SIKOMPAK.
Kelembagaan UPK bisa saja akan berbeda di masing-masing kecamatan, walau proses, mekanisme dan prinsip-prinsip pengelolaannya tetap mengacu pada UU Desa memerlukan amandemen tersebut, atau bisa saja UPK menjadi UNIT PEMBIAYAAN KOMUNITAS. UPK ini merupakan salah satu organisasi yang sejalan dengan pelaksanaan Ekonomi Konstitusi selain Koperasi yang merupakan Usaha Bersama dengan berbasis keanggotaan. Perbedaan basis keanggotaan UPK dan Koperasi adalah, pada komunitas dan yang lainnya adalah pribadi (personal) yang membentuk kelompok atau organisasi sesuai kebutuhan atau kepentingan anggota (interest membership) atau dalam terminologi PNPM adalah Kelompok Usaha Ekonomi Produktif.
Dalam posisi ini UPK dan Koperasi tidaklah mempunyai perbedaan yang mendasar dalam mendorong anggotanya untuk mencapai kesejahteraan bersama secara berkeadilan. Amandemen dan atau pelembagaan secara formal UPK ini adalah dalam kerangka untuk lebih membuka akses dan kerjasama kelembagaan secara lebih luas dengan pihak lain dalam memberdayakan masyarakat miskin antar desa untuk tujuan kemandirian desa dan pada akhirnya adalah KEMANDIRIAN EKONOMI bangsa dan negara.
Penulis: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi.
Catatan Redaksi: Tulisan ini disampaikan pada Seminar dan Workshop Asosiasi UPK ex PNPM Solo Raya pada tanggal 27 Maret 2018 di Hotel Syariah, Solo.