NusantaraNews.co, Jakarta – Presiden dari Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) Mirah Sumirat mengatakan, dampak dari GNNT akan menimbulkan jutaan pengangguran baru akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di berbagai sektor industri.
“Selain ancaman PHK massal di berbagai sektor industri, ASPEK Indonesia juga menilai bahwa GNNT bertentangan dengan Undang Undang tentang Mata Uang dan Undang Undang Perlindungan Konsumen,” kata Mirah saat jumpa pers di kantor LBH Jakarta, Kamis, (14/09/2017)
Mirah Sumirat membeberkan beberapa fakta yang dapat menjadi alasan masyarakat pengguna jalan tol untuk menolak pemberlakuan Gardu Tol Otomatis (GTO) di seluruh jalan tol, yaitu:
1. GTO telah membuat Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah, menjadi tidak berlaku. Hal ini bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (UU Mata Uang), dimana disebutkan bahwa uang adalah alat pembayaran yang sah dan mata uang yang dikeluarkan oleh Negara Republik Indonesia adalah RUPIAH, dengan ciri-ciri yang juga telah diatur dalam UU Mata Uang.
2. Transaksi melalui GTO hanya dapat dilakukan oleh pengguna jalan yang memiliki e-Toll Card, padahal fitur e-Toll hanya bersifat sebagai pengganti uang cash dan bukan merupakan alat pembayaran yang sah sebagaimana diatur dalam UU Mata Uang.
3. Pasal 21 ayat (1) UU Mata Uang mengatur bahwa; “Rupiah wajib digunakan dalam: a) setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran; b) penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau c) transaksi keuangan lainnya, yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
4. Pasal 23 UU Mata Uang menyatakan bahwa “Setiap orang DILARANG MENOLAK untuk menerima RUPIAH yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di wilayah NKRI”.
5. Dalam UU Mata Uang terdapat sanksi pidana terhadap orang yang menolak menerima Rupiah, yaitu dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan pidana denda paling banyak 200 juta rupiah (Pasal 33 ayat 2). Bahkan apabila dilakukan oleh korporasi, pidana dendanya ditambah 1/3 dari denda maksimum, penyitaan harta benda korporasi dan/atau pengurus korporasi, hingga pencabutan ijin usaha (Pasal 39 ayat 1).
Baca: Gerakan Nasional Non Tunai Teror Kaum Pekerja, Pemerintah tak Peduli
Wakil Ketua Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional itu juga mengingatkan masyarakat untuk kritis karena pemilik dan pengguna kartu e-toll, tanpa sadar sesungguhnya telah “diambil paksa” uangnya oleh pihak pengelola jalan tol dan oleh bank yang menerbitkan kartu e-toll.
“Apabila masyarakat membeli kartu e-toll seharga Rp.50.000,- sesungguhnya hanya mendapatkan saldo sebesar Rp.30.000,-. Kemana selisih uang yang Rp.20.000? Konsumsen “dipaksa” untuk merelakan kehilangan dananya, bahkan sebelum kartu e-toll digunakan untuk transaksi! Belum lagi dana saldo e-toll yang mengendap di bank karena tidak dipergunakan oleh pemilik kartu, yang kemudian dapat diputar oleh bank untuk kepentingan bisnisnya. Bayangkan, berapa triliun dana masyarakat yang akan diambil paksa dari sistem 100% GNNT dan GTO ini?” ungkap Mirah Sumirat mencontohkan.
Pewarta/Editor: Ach. Sulaiman