ArtikelEkonomiKolom

Lahan Habis untuk Infrastruktur, Pertanian di Pulau Jawa Semakin Terancam

pulau jawa, lumbung padi, lumbung beras, lahan pulau jawa, lahan sawah jawa, pangan nasional, produksi pangan, petani pulau jawa, nusantaranews, nusantara news, nusantara
Peta Pulau Jawa, Indonesia. (Ist)

LAHAN panen padi Indonesia masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dengan total luas mencapai 7 juta ha dari 15 juta ha, atau hampir separuh dari lahan panen padi nasional.

Menurut data Kementerian Pertanian, luas lahan panen padi pada 2017 meningkat 4,17% menjadi 15,79 juta ha. Jumlah tersebut terdiri dari luas lahan padi sawah seluas 14,63 juta ha dan padi ladang 1,16 juta ha. Jawa Timur merupakan provinsi dengan luas lahan panen padi terbesar yaitu 2,29 juta ha atau sekitar 15% dari total luas lahan. Menurut angka ramalan II, Jawa Timur dapat memproduksi hingga 13,13 juta ton.

Provinsi dengan luas lahan panen terbesar kedua adalah Jawa Barat yaitu seluas 2,12 juta ha (13,44%), diikuti Jawa Tengah dengan luas 2,01 juta ha (12,74%). Berdasarkan data tersebut, lahan panen padi Indonesia masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dengan total luas mencapai 7 juta ha atau hampir separuh dari lahan panen padi nasional.

Menteri Agraria Sofyan Jalil mengatakan keberadaan lahan sawah di Indonesia menyusut tajam, sebanyak 150 ribu hingga 200 ribu hektar lahan sawah berubah menjadi lahan non sawah, atau alih fungsi dari sawah kepentingan lain jadi kawasan industri, rumah dan lain-lain.

Menurut Soyan Jalil, penyusutan lahan meningkat tajam jika dibandingkan 6 tahun lalu. Sangat ironi, karena 6 tahun lalu laju konversi lahan sawah menjadi lahan non sawah sekitar 100 ribu hektar per tahun. Artinya, lajunya meningkat hingga 100 persen.

Semalam di ruang perpustakaan di rumah, saya mencari buku-buku lama sewaktu kuliah di Jurusan Pemerintahan Desa di Yogyakarta.

Menarik karena kembali menghidupkan memori medio 90-an di tempat kuliah yang dijuluki Kampus Desa di mana bidang studi sosiatri pembangunan masyarakat desa menjadi andalannya. Dalam berbagai hasil studi dan laporan statistik pangan menyatakan pulau Jawa adalah lumbung pangan nasional yang mensuplai 50 persen pangan nasional dan Indramayu merupakan kabupaten penghasil beras tertinggi di Indonesia .

Pada tanggal 22 November 2016, baru saja mendarat di bandara menangani kasus Freeport di Papua, aktivis agraria meminta saya mendatangi Kertajati di Majalengka dan juga Indramayu karena masyarakat dipukul, dianiaya dan disiksa oleh aparat gabungan atas perintah pemerintah pusat demi perluasan landas pacu lapangan terbang yang memasuki wilayah hunian penduduk, harta warisan budaya dan tempat-tempat keramat serta luas sawah ribuan hektar.

Pada saat itu juga saya mendatangi masyarakat di Kertajati, Majalengka. Keesokan harinya saya pimpin rapat di gedung sate kantor gubernur Jawa Barat dengan menghadirkan stakeholders. Pemerintah pusat bersi keras, gubernur Jawa Barat menolak tetapi karena proyek strategis nasional, maka pembangunan, penggusuran dan penghancuran tempat hunian masyarakat Kertajati tetap dilanjutkan.

Baca Juga:  Transisi Tarian Dero Menjadi Budaya Pop

Di hadapan ribuan orang di Kertajati dan juga di kantor gubernur saya mewakili Komnas HAM menegaskan bahwa Kertajati tidak bisa dilanjutkan karena Majalengka dan Indramayu lumbung beras yang memberi makan jutaan rakyat Indonesia.

Itulah sekelumit kisah singkat perjuangan kami karena sedari awal telah tertanam di memori bahwa Majalengka dan Indramayu pusat produksi beras sebanyak 1 juta ton dari 30 juta ton kebutuhan nasional.

Tidak dapat disangkal bahwa hari ini pemerintah berpolemik soal tata kelola pangan nasional, khususnya beras. Rakyat dipertontonkan dengan sandiwara antar anggota kabinet tentang perlu tidaknya impor beras 1 juta ton, polemik tentang kepastian data/jumlah stok beras, BPS tidak mampu menghitung secara pasti angka postulat berdasarkan statistik meskipun menggunakan data berbasis geografis (geografical information system), Bulog berkeras kepala untuk tidak mau impor beras, Kementerian Pertanian tidak mampu mendorong produksi pangan dan mengendalikan petani gabah dan beras, demikian pula Kementerian Perdagangan masih mau memaksakan impor beras.

Itulah sandiwara yang dipertontonkan oleh pemerintah Jokowi-JK 2014-2019 karena katidakmampuan menuntun tata kelola pangan nasional.

Data Food Sustainability Index 2017
Data Food Sustainability Index 2017

Persoalan pangan dan soal beras adalah soal mati hidupnya rakyat Indonesia. Namun, pemerintah kewalahan, bahkan berantem di antara mereka. Bayangkan saja, untuk menghidupi 263 juta penduduk Indonesia maka kita butuh 30 juta ton berat/tahun. Dengan kebutuhan 114 kg/kapita/tahun. Berdasaran perhitungan akhir tahun 2017, suplai beras gabah petani diperkirakan 81 juta ton atau 46 juta ton beras.

Artinya, kita masih memiliki surplus beras sebanyak 16 juta ton kalau itu sesuai target. Sedangkan kebutuhan beras nasional per bulan rata-rata 2,2 juta ton. Sementara cadangan beras pemerintah hanya 1,182 juta ton.

Persoalan beras tetap menjadi perhatian nasional dan akan terus menjadi polemik tahunan yang tidak akan bisa berhenti sepanjang hayat bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah tidak main-main, tidak bekerja musiman tetapi perlu proyeksi supply dan demand dalam jangka waktu yang panjang. Kecenderungan pemerintah saat ini justru soal pangan dan beras dianggap tidak menjadi penting, pemerintah lebih mementingkan soal politik dan citra diri menghadapi tahun politik. Hasilnya, kita menyaksikan sendiri indeks keberlanjutan pangan Indonesia nomor tiga terburuk di dunia. Memalukan!

Kembali ke Majalengka dan Indramayu, bahwa pembangunan bandar udara internasioanl Kertajati memang penting bagi mobilitas orang, barang dan jasa, khususnya bagi masyarakat Jawa Barat. Tapi justru secara langsung akan mempengaruhi sumber beras nasional.

Baca Juga:  Bea Cukai Nunukan Lakukan Hibah dan Musnahkan Barang Ilegal Lainnya

Adanya pembangunan kawasan industri, pembangunan real estate, perkantoran dan dinamika mobilitas orang, barang dan jasa secara otomatis mengantarkan penduduk dari masyarakat agraris ke industri dan jasa. Demikian pula penyusutan lahan pertanian dan perkebunan menyebabkan tidak mungkin lagi menyumbang beras 1 juta ton dari 30 juta kebutuhan beras nasional.

Tidak hanya Majalengka dan Indramayu juga Kerawang, seluruh pulau Jawa terancam sebagai lumbung pangan karena data Kementerian Pertanian menunjukkan luas lahan sawah 44 persen berada di Pulau Jawa memiliki luas lahan sawah 3,4 juta hektar dari total persawahan di Indonesia mencapai 7,74 hektar.

Meski perlindungan lahan pertanian telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan sejumlah aturan turunannya telah diterbitkan pada 2012 lalu, tetapi dalam pelaksanaannya pemerintah menabrak aturan demi proyek ambisius pemerintah.

Belum lagi orientasi pembangunan industri masih berbasis di pulau Jawa, ditunjang oleh pembangunan kawasan hunian, pengembangan perkotaan. Pertumbuhan penduduk yang tinggi akan menyertai tuntutan kebutuhan ekonomi akan meningkat sebagaimana dikemukakan oleh Thomas Maltus.

Faktor-faktor sebagaimana di atas memberi konstribusi bukan tidak mungkin telah mengalami penyusutan lahan pertanian yang mana 51 persen sumber pangan nasional disuplai dari pulau Jawa yang meskipun luas pulaunya hanya 6 persen dari keseluruhan daratan di Indonesia.

Kabupaten Bojonegoro dan Sragen juga mulai terancam sebagai sumber beras nasional. Bojonegoro tiap tahun juga menyumbang 1 juta ton, sementara Sragen 600-800 ratus ribu ton. Pada saat ini Sragen dalam ancaman penyusutan lahan karena konsekuensi dari pembangunan jalan tol Semarang-Boyolali-Surakarta.

Mobilitas barang, jasa dan orang yang semula melalui pantai utara mulai kecenderungan beralih melalui lintas tengah Salatiga, Sragen, apalagi pembangunan akses jalan tol Madiun-Ngawi.

Kerusakan ekosistem kart sebagaimana terjadi di pegunungan Kendeng akibat pembangunan pabrik semen di Jepara di bawah kepemiminan Ganjar Pranowo ikut memberi kKonstribusi signifikan terhadap hambatan suplai air untuk kebutuhan ekonomi, khususnya petani padi, termasuk juga Bojonegoro meskipun berada di daerah aliran sungai Bengawan Solo.

Itulah beberapa ancaman di mana Jawa tidak akan bisa diharapkan menjadi daerah suplai pangan nasional, khususnya beras.

Salah satu dampak besar yang perlu diantisipasi ialah adanya ancaman urbanisasi akibat tingginya angkatan kerja, pengangguran dan kemiskinan yang meningkat di pedesaan, tentu menyebabkan orang desa yang agraris menjadi masyarakat urban. Penduduk pedesaan yang memiliki lahan pertanian makin berkurang karena menua. Akibatnya, terjadi substitusi lahan dari pertanian ke jasa dan industri karena petani menjual areal pertanian mereka konglomerasi-konglomerasi yang menguasai lahan di pedesaan.

Baca Juga:  DPRD Nunukan Fasilitasi RDP Petani Rumput Laut Dengan Pemerintah

Dampak besar ancaman penyempitan lahan pertanian juga terlihat dari pembangunan pembangkit tenaga listrik hampir tiap wilayah di pulau Jawa. Kabupaten Cilacap saja telah memiliki kurang lebih tiga pusat pembangkit listrik swasta dan pemerintah.

Artinya, kebutuhan energi makin hari kian meningkat, tuntutan kebutuhan energi di pulau Jawa bisa saja termasuk paling tinggi di dunia. Dalam hal ini, di satu sisi sangat membanggakan, namun juga membahayakan ekosistem dan sumber-sumber ekonomi berbasis pertanian perkebunan di sisi lain.

Inilah korban dari rancang bangun pemerintah tersandera doktrin Keynesian yang menyatakan bahwa pasar dan pemerintah sebagai simbiosis mutualisme.

Pemerintah terlalu baik pada pasar tetapi pasar selalu egois mengejar keuntungan menyebabkan pemerintah selalu kalah dan ketinggalan untuk berbuat baik bagi rakyat. Konsep pembangunan kemitraan antara swasta dan pemerintah (public private partnership/PPP) kurang lebih 10 tahun terakhir ternyata belum bisa memberi konstribusi signifikan.

Justru sebaliknya, pemerintah dijadikan sapi perah swasta melalui proyek infrastruktur dengan investasi besar. Termasuk pembangunan sejumlah bandar udara di Indonesia. Padahal, kalau kita melihat secara jeli ternyata pembangunan bandar udara baru selalu merusak ekologi dan sumber ekonomi, khususnya areal pertanian dan perkebunan.

Bandar udara Internasional Kuala Namu di Sumatera Utara merusak areal perkebunan, sumber potensial bagi pendapatan Sumatera utara juga nasional. Bandar Udara Sukarno Hatta, Badara Udara Sultan Hasanudin, Hang Nadim, Palembang, termasuk juga bandar udara internaional Kulon Progo Yogya dan lain sebagainya. Hampir semua pembangunan bandar udara selalu memakan korban. Jika tidak menggusur penduduk, maka areal produksi pertanian dan perkebunan dirusak.

Pulau Jawa memiliki 7 juta lahan pertanian, namun mengalami penyusutan sebanyak 200 ribu ha per tahun. Maka, hanya membutuhkan waktu 25 tahun lahan pertanian di Jawa akan hilang.

Bagaimanapun pembangunan lapangan internsional, pembangunan insfrastruktur, pembangunan industri, real estate dan lainnya khususnya di pulau Jawa telah menghancurkan sumber potensial penghasil pangan. Maka selanjutnya, komitmen pemerintah untuk membuka areal pertanian 3 juta hektar sawah harus diwujudkan sebagai konsekuensi janji presiden Jokowi sebelum 2019. Kalau tidak bisa diwujudkan maka pemerintah gagal memenuhi janji.

Membaca situasi ini pemerintah tentu mempunyai Master Plan pembangunan nasional dalam berbagai sektor termasuk sektor pertanian. Salah satu yang paling penting adalah perencanaan pembangunan dan pengembangan industri tentu memperhatikan ketersediaan lahan yang makin menyempit di pulau Jawa.

Oleh: Natalius Pigai, Mantan Komisioner Komnas HAM RI, Mantan Staf Khusus Menakertrans RI. Alumni Sekolah Pemerintahan Desa.

Related Posts

1 of 3,150