NUSANTARANEWS.CO – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terbilang sukses menetapkan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam (NA) sebagai tersangka dalam kasus korupsi perizinan tambang nikel di Sultra. Atas penetapan itu, Komisioner Ombudsman RI La Ode Ida menilai, KPK laik mendapat apresiasi.
Menurut La Ode, terkait kasus korupsi perizinan tambang nikel, memang sudah sejak lama sebagian besar warga Sultra menanti kepastian status hukum NA itu. Karena, lanjutnya, mereka sangat yakin kalau ybs memiliki harta dengan sumber perolehan dari kebijakan yang koruptif.
“Salah satu dugaan yang mencurigakan adalah keberadaan rekening gendutnya yang pernah diungkap oleh PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) beberapa tahun lalu. Dana yang jumlahnya sangat fantastis itu (konon berkisar lebih dari 100 milyar rupaih) diduga berasal commitment fee dari transaksi penjualan nikel ke luar negri, yang transaksi atau transfernya ke Indonesia terdeteksi oleh PPATK,” terang La Ode dalam pernyataan tertulisnya yang diterima nusantaranews.co di Jakarta, Selasa (23/8).
Lebih lanjut, La Ode mengungkapkan bahwa pihak PPATK memang sudah secara resmi mengumumkan nama-nama pemilik rekening tambun itu (termasuk NA) ke Kejagung (Kejaksaan Agung) dan juga KPK. “Pihak Kejagung, sudah kerap juga mengangkat kasus itu, bahkan beberapa hari setelah dilantik, Kajagung HM Prasetyo berjanji akan menangani secara khusus kasus rekening gendut ini,” ungkap politikus kelahiran Tobea, Kabupaten Muna.
La Ode sempat optimis dengan janji Kajagung sebelum akhirnya dia cukup kecewa melihat fakta yang ada sekarang. La Ode tentu menyayangkan hal demikian dapat terjadi di Kejagung. Karena setelah ditunggu emplementasinya, ternyata janji Kajagung itu, bagi La Ode, bagaikan pepesan kosong.
“Dan anehnya, ketika saya pertanyakan langsung pada Kajagung (saat pimpinan Ombudsman RI bersilaturahmi April lalu), dengan entengnya Prasteyo menjawab bahwa dana siluman itu merupakan transaksi dari luar negri yang hanya meminjam rekening pribadi NA. Wah…, “ini sdah isyarat masuk angin”, pikir saya saat itu,” kata pendukung Front Pembela Islam itu berkisah.
Dalam pada itu La Ode juga menyatakan, tidak berlebihan, jika dikatakan bahwa barisan korps adhyaksa dengan sengaja dimandulkan oleh pimpinannya sehingga dalam kasus korupsi yang sudah nyata-nyata saja dibiarkan atau mungkin saja diobyekkan oleh sebagian oknumnya. “Maka ketika KPK membuktikan bahwa NA korupsi, maka sebenarnya juga skaligus mempermalukan pimpinan kejaksaan agung,” cetusnya.
Kendati begitu, kata La Ode, KPK tak adil kalau hanya menjadikan NA sebagai tersangka. Karena semua tahu bahwa korupsi di bidang pertambangan ini dilakukan secara berjamaah alias bersifat kartel. Maka sudah sepantasnya KPK membongkar jaringan korupsi NA ini sampai tuntas.
“Seperti janji pimpinan KPK sekarang ini: ‘korupsi yang berwatak kartel harus dituntaskan’,” pungkasnya. (Sule)