NUSANTARANEWS.CO – Sejarah Pendidikan di indonesa digenapi oleh berbagai persoalan, diantaranya masalah mahalnya biaya pendidikan (kuliah) dan fasilitas yang kurang Memadai. Disamping itu, demokratisasi di kampus juga semkin sempit. Sebab perwakilan Mahasiswa jarang sekali dilibatkan dalam merumuskan Kebijakan Kampus.
Demikian ungkap Kordinator Umum Forum BEM DIY Nur Fatah disela-sela persiapan menyambut kunjungan Presiden Joko Widodo ke Kota Pendidikan, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (10/0)
“Berbagai kebijakan yang mengtur tentang pendidikan mulai dari UU no 20 thn 2003, UU no 12 tahun 2012 bahkan sampai PP Nomor 04 tahun 2014, sama sekali tidak merubah kondisi yang ada. Justru semakin memperburuk keadaan. Dimana semangat otonomi kampus bagi Perguruan Tinggi Swasta dan UKT untuk Perguruan Tinggi Negri yang selalu di agung-agungkan sebagai solusi, ternyata malah menjadi petaka baru bagi dunia Pendidikan,” terang Fatah kepada nusantaranews.co.
Disamping itu, lanjutnya, dengan adanya otonomi Kampus, yayasan di setiap Universitas diberi kebebasan dalam mengelola keuangan kampusnya. Adapun imbasnya adalah perguruan tinggi menjadi lembaga yang profit orientied (nirlaba).
“Sehingga wajar apabila biaya setia tahun semakin melambung tinggi. Maraknya pungli (pungutan liar, red) di kampus dengan dalih sebagai dana kas untuk mengantisipasi ketika kampus coleps atau sebagai modal untuk bersaing dengan kampus lain,” ujar dia.
Karena itulah, cetus Fatah, mahasiswa atau peserta didik tidak ubah seperti kambing perah yang selalu siap untuk diperah. “Pertanyaannya, ketika pendidikan diliberalisasi dan orientasinya hanya profit, terus dimana tanggung jawab negara sesuai pasal 31 UUD karena maju atau mundurnya suatu bangsa tergantung dari Pendidikan itu sendiri,” kata Fatah.
Lebih lanjut Fatah menyatakan, selain pendidikan, persoalan yang sama juga terjadi di sektor Pertanian. Dimana indonesia merupakan negara agraris dan rakyatnya mayoritas berkerja sebagai Petani.
“Namun dalam prakteknya, petani selalu dimiskinkan. Ketika mereka bercocok tanam, harga obat-obatan dan pupuk dinaikkan. Sementara ketika mereka panen, harga komoditinya diturunkan (permainan pasar). Ironisnya lagi (negara/pemerintah) bukannya membantu untuk menyelesaikan masalah. Malah mereka ikut terlibat dan mengambil andil yaitu dengan mengimpor beras dari vietnam. Padahal hal tersebut jelas mematikan daya jual petani terkait produknya sendiri,” katanya menyangkan.
Tidak hanya itu, Fatah juga meyinggung persoalan pengalihan fungsi Lahan produktif. Dimana rakyat dipaksa untuk menyerahkan tanahnya dengan dalih untuk pembangunan.
Atas dasar sekian persoalan di atas, Fatah menyampaikan aspirasi aktifis mahasiswa atas nama Forum BEM DIY (FBD), melaui sepanduk-sepanduk tuntutan yang telah disebarkan di setiap titik yang akan dilalui oleh Presiden Jokowi. Adapun tuntutan yang dilancarkan adalah sebagai berikut:
1. Wujudkan Pendidikan gratis, demokratis sesuai dengan UUD 45 yang asli;
2. Kembalikan kota Jogja sebagai kota Pelajar yang Merakyat.
3. Tolak segala bentuk Penggusuran dan kembalikan tanah untuk Rakyat.
4. Tinjau Ulang UU 12 tahun 12 dan hapus otonomi kampus.
5 .Tolak segala bentuk Refresifitas Aparat terhadap Rakyat.
“Bersama ini kami juga menyerukan untuk seluruh gerakan mahasiswa/elemen rakyat untuk menyatukan diri dan mendesak pemerintah untuk segera merealisasikan tuntutan FBD. Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat!” seru Fatah. (Sel/Red02)