ArtikelPolitikTerbaru

Kritik Otokritik Partai Politik

Di penghujung tahun 2017 ini, kita dipertontonkan dengan berbagai macam manuver politik yang dilakukan oleh beberapa partai. Gerak cepat Gerindra, menarik PKS dan PAN dalam sebuah koalisi untuk 5 (lima) pemilihan gubernur (Pilgub) serentak 2018, membuktikan niat serius Gerindra sebagai langkah awal untuk kemenangan Pemilu Serentak 2019 nanti. Karena kita semua sama-sama menyadari bahwa kemenangan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2018 adalah salah satu kunci bagi kemenangan pemilu 2019.

Tentu saja, dalam beberapa hari ke depan, langkah Gerindra, PKS dan PAN ini akan mendapat respon dari partai-partai lain, terutama PDIP. Sebagai partai penguasa, PDIP tentu saja ingin mempertahankan kekuasaannya dengan merebut kemenangan pada pemilu serentak 2019 nanti. Walau dalam merespon pilkada serentak 2018 PDIP terkesan “tenang” akan tetapi dapat dipastikan mereka akan segera menarik partai-partai pendukung pemerintah dalam satu koalisi bersama menghadapi Pilkada Serentak 2018 demi menjamin kemenangan kembali pada Pemilu Serentak 2019. Demikian pula dengan partai Demokrat yang saat ini sedang “re-born“, mereka akan segera mengambil langkah-langkah strategis, terutama dalam respon pilkada serentak agar tidak tertinggal pada pemilu 2019.

BACA: Hadapi Pilkada Serentak 2018 PKS, PAN dan Gerindra Sepakat Koalisi di Lima Provinsi

Dari manuver-manuver politik partai di atas (dan tentu juga sebelum-sebelumnya), yang menjadi persoalan mendasar dari partai-partai politik di Indonesia adalah partai politik di Indonesia tidak digerakkan oleh ideologi, tidak mengakar ke massa, dan sistem pengelolaannya tidak berbasis organisasi modern. Coba lihat ideologi parpol di Indonesia saat ini. Ideologi sekedar hanya jadi embel-embel untuk melengkapi AD/ART. Lalu, ketika partai beroperasi di arena politik, maka panglimanya adalah uang dan kekuasaan. Sedangkan pijakan ideologi mereka adalah pragmatism, hal ini semakin terang kita saksikan. Bisa dikatakan tak ada satu partaipun berani meresikokan dirinya untuk terjun membantu persoalan-persoalan rakyat saat ini yang tengah dihimpit berbagai persoalan kehidupan yang semakin sulit di “era-distruption” ini.

Baca Juga:  Pleno Kabupaten Nunukan: Ini Hasil Perolehan Suara Pemilu 2024 Untuk Caleg Provinsi Kaltara

Pada umumnya, partai politik tidak menjalankan kaderisasi dan perekrutan sebagai jalan memperluas basis konstituen. Akibatnya, guna memenangkan suara atau dukungan rakyat, mereka mengandalkan kekuasaan dan uang. Ini yang membuat hampir tidak ada partai yang mau melakoni “oposisi” secara konsisten. Selain itu, pemahaman orang tentang parpol sudah bergeser: orang tidak lagi menganggap parpol sebagai sarana memperjuangkan cita-cita politik, melainkan sebagai sarana mencari jabatan dan uang. Ini pula yang membuat orang bisa keluar-masuk partai sesukanya.

Fenomena parpol semacam ini tidak sehat. Rakyat selamanya tidak akan dibuat berdaya secara politik. Sebab, partai hanya menempatkan rakyat sebagai objek politik atau sarana mencapai kepentingan partai. Sedangkan suara rakyat, yang seharusnya diperjuangkan oleh partai, tidak pernah terartikulasikan.

Hancurnya sistem kepartaian makin terasa di alam demokrasi liberal. Politik tidak lagi dipandang sebagai sarana atau seni mengelola kekuasaan demi kepentingan rakyat, tetapi sudah tersubordinasi di bawah disiplin pasar dan logika profit. Parpol pun bisa diperjual-belikan tak ubahnya komoditas. Sekarang ini, logika profit sudah menjadi panglima dan ideologi-seperti balon warna-warni yang dijual bebas itu-tak lebih sebagai daya-penarik dagangan saja.

Baca Juga:  Silaturrahim Kebangsaan di Hambalang, Khofifah Sebut Jatim Jantung Kemenangan Prabowo-Gibran

Ini membawa sejumlah konsekuensi lainnya. Pertama, partai yang didirikan hanya sebagai “mesin elektoral” semata. Hanya menjadi kuda tunggangan untuk meraih kekuasaan. Ini sangat mirip dengan tipologi personal party, yaitu partai yang didirikan oleh dan untuk satu orang. Padahal, lazimnya partai adalah alat untuk mengartikulasikan kehendak politik rakyat banyak. Dan medan elektoral hanyalah satu dari sekian jalan untuk melakukan artikulasi politik.

BACA: Gerindra, PKS dan PAN Akan Berkoalisi Jangka Panjang Hingga Pilpres 2019

Kedua, mereka tidak butuh ideologi sebagai bahan perekat bagi kader, anggota, dan pendukung dalam satu kesatuan cita-cita akan masa depan bersama. Karena partai yang didirikan hanya sebagai ‘kuda tunggangan’ elit-elit partai, maka semua kebijakan dan orientasi politik partai diputuskan oleh elit-elit partai bukan berdasarkan platform perjuangan.

Yang menarik, untuk memikat massa rakyat, mereka kerap mengadopsi konsep partai ‘tenda besar’, yaitu partai yang bisa menghimpun siapapun dan sektor sosial manapun. Alat pemikatnya adalah popularitas. Sedangkan senjata utamanya adalah trisula: survei, iklan, dan uang. Partai semacam ini juga bebas berkoalisi dengan partai atau kekuatan politik manapun asalkan menguntungkan secara ekonomi dan politik.

Baca Juga:  FKMPK Nunukan Gelar Mubes Ke-V

Ketiga, karena partai ini bertipe elite party, maka tidak ada demokrasi di dalamnya. Kekuasaan dalam pengambilan kebijakan partai tersentralisasi di tangan tokoh sentral partai, yakni pendiri partai atau Ketua Umum partai. Tokoh sentral inilah yang sangat dominan dalam menentukan berbagai langkah politik dan kebijakan partai, seperti pengajuan kandidat untuk jabatan politik (legislatif dan eksekutif), penentuan koalisi politik, dan sikap politik partai. Pendek kata, setiap keputusan atau kebijakan partai mesti mendapat ‘restu’ dari tokoh sentral partai.

Ketiga hal diatas nyata kita saksikan saat ini. Seharusnya partai merupakan lembaga atau badan politik milik publik. Raison d’etre partai politik adalah untuk melayani publik: memberikan penyadaran politik, memajukan partisipasi politik publik, mengartikulasikan kehendak politik publik, dan melahirkan pemimpin yang istiqomah melayani publik. Bukan politik “gotak-gatik-gatuk” tanpa platform politik seperti yang kita saksikan saat ini. Semoga di tahun politik sesat lagi ini, para elit partai menyadari akan hal ini, agar segala manuver politik kedepannya sepenuhnya diabdikan demi menyelesaikan persoalan-persoalan rakyat yang berujung pada kemakmuran rakyat.

Oleh: Bin Firman Tresnadi, Direktur Eksekutif Indonesia Development Monitoring

Related Posts

1 of 52
  • slot raffi ahmad
  • slot gacor 4d
  • sbobet88
  • robopragma
  • slot gacor malam ini
  • slot thailand