NUSANTARANEWS.CO – Konflik AS-Iran, siapa sesungguhnya yang teroris? Mengapa dalam konflik ini AS dengan seenak udelnya memberi label Korps Pasukan Pengawal Revolusi Iran sebagai organisasi teroris. Boleh jadi, AS membangun konflik ini hanya ingin memberi tekanan lebih lanjut pada rakyat Iran. Meneror Teheran agar tunduk pada keinginan AS. Dengan labelisasi teroris ini, sebetulnya sama saja dengan maling teriak maling. Siapa sesungguhnya yang teroris? Terlepas dari fakta bahwa 30 persen ekonomi Iran dikelola oleh Korps Garda Republik ini.
Mari kita lihat fakta ini. Sejak berakhirnya Perang Dunia II, AS banyak menggulingkan pemerintahan “yang tidak sejalan” dengan kepentingannya di seluruh penjuru dunia, baik secara terbuka maupun diam-diam. Misalnya penggulingan Perdana Menteri Iran Mohammad Mosaddegh yang terpilih secara demokratis pada tahun 1953; Penggulingan Presiden Guatemala Jacobo Árbenz yang juga terpilih secara demokratis tahun 1954; Penggulingan Presiden Brasil Joao Goulart pada tahun 1964; Penggulingan pemerintahan Salvador Allende yang terpilih secara demokratis pada tahun 1973, dan banyak lagi.
Sementara di akhir abad ke-20 bisa kita saksikan hancurnya Yugoslavia, Penggulingan Presiden Irak, Saddam Hussein dan Lengsernya Presiden Soeharto di Indonesia. Memasuki abad ke-21, AS melancarkan perang melawan terorisme global dengan melakukan agresi ke Afghanistan. Menggulingkan Pemimpin Libya, Muammar Qaddafi, tapi gagal menggulingkan Presiden Suriah Bashar al Assad.
Yang lain digulingkan oleh operasi rahasia atau pemilihan palsu seperti Revolusi Warna: Revolusi Oranye di Ukraina, Revolusi Tulip di Kirgistan, Revolusi Velvet di Cekoslowakia, dan seterusnya, termasuk Arab Spring.
Sebuah kebiasaan yang sudah berurat akar dalam kebijakan luar negeri AS. Fakta ini menunjukkan bahwa AS telah berkali-kali meneror banyak negara di seluruh dunia. Demikian pula sanksi yang keras terhadap Iran, dan Korps pengawal revolusinya adalah dalam rangka melumpuhkan ekonomi Iran – sebagai strategi jangka panjang untuk membawa Iran kembali ke orbit AS.
Washington saat ini secara konsisten menjalankan dua taktik destabilisasi: Pertama dengan tekanan yang cukup untuk memaksa pemerintahnya agar tunduk tanpa perlu adanya perubahan kekuasaan. Bila taktik pertama tidak berjalan maka dilanjutkan dengan langkah kedua berupa tekanan ekonomi untuk mendorong pemberontakan guna menggulingkan pemerintahan dari dalam. Bila yang terakhir tidak berjalan, maka agresi militer menjadi pilihan terakhir.
Sebelum Revolusi 1979, Iran di bawah kekuasaan Mohammad Reza Pahlevi adalah sekutu utama AS di kawasan Timur Tengah. Namun berhasil ditumbangkan oleh gerakan para mullah yang revolusioner dan mengganti sistem Kerajaan Iran menjadi Republik.
Sekarang para elit penguasa Iran telah belajar banyak dari bubarnya Uni Soviet: bahwa kekuatan militer saja tidak cukup untuk menghadapi serangan imperialisme yang konstan. Demikian pula dengan kesejahteraan ekonomi sangat menetukan tingkat dukungan rakyatnya.
Selama delapan tahun Perang Iran-Irak: Iran belajar bagaimana jaring pengaman sosial yang luas dan pemerintahan yang tidak korup mendapatkan kesetiaan penuh dari rakyatnya – sehingga mampu menjaga persatuan dan kedaulatan Iran dalam melawan agresi Saddam Hussein. Tinggal sekarang, bagaimana pemerintah Iran mampu mengelola sumber daya nasional dengan baik untuk memperbaiki dan meningkatkan kehidupan rakyatnya.
Tekanan AS terhadap Korps pengawal revolusi sebaliknya justru malah memperkuat solidaritas mereka dan sekaligus menaikkan pengaruh Garda tersebut. Bukan hanya Iran atau Pengawal Revolusionernya tetapi negara atau kekuatan militer lain mana pun yang terancam oleh kekuatan asing yang agresif pasti akan memperkuat kemampuan pertahanannya. (Agus Setiawan)