Budaya / SeniCerpen

Kisah Hujan dan Summer – Kisah Nanda Dyani Amilla

NUSANTARANEWS.CO – Januari hampir habis. Hujan tidak pernah datang lagi meski hanya sekadar rintik. Dia memilih bersembunyi dalam mendung yang kelabu. Entahlah apa sebabnya, aku sendiri kadang-kadang sangat merindukan hujan, meski kini aku tidak bisa terang-terangan mencintainya. Bian, laki-laki berambut cokelat yang mempunyai alasan kuat mengapa aku begitu mencintai hujan. Dia senang mengajakku menari di bawah hujan. Merentangkan tangan lebar-lebar dan membiarkan tetes hujan membasuh wajah secara perlahan. Bian bilang, hujan adalah kebahagiaannya. Hujan adalah kecintaannya setelah aku.

Aku lebih suka menamai Bian dengan sebutan hujan. Sejak kali pertama dia mengenalkanku pada ribuan tetes air langit itu. Di bawah senja, di sebuah halte pinggiran kota. Kala itu, Bian memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Sambil tersenyum, dia banyak bercerita tentang kecintaannya pada hujan. Katanya, hujan adalah teman terbaik dalam mengingat sesuatu. Hujan adalah momen terbaik untuk mengadu pada sang pencipta raga.

Berbulan-bulan lamanya, aku semakin akrab pada hujan. Aku bahagia jika hujan datang. Aku bahagia jika hujan berkunjung. Hidupku seolah terpenuhi oleh hujan. Aku tidak butuh yang selain hujan. Hujan bisa menenangkan gundahku, bisa meminimalisir lukaku, dan bisa menjadi penyebab tawaku. Hujan adalah segala, meski banyak orang menyumpahserapahinya.

Hingga suatu ketika, hujan tidak pernah datang lagi. Hujanku tengah sibuk dengan aktivitasnya. Panggilanku diabaikan, pesanku dibiarkan. Hujan tak lagi ingin menemuiku meski aku sangat ingin bertemu dengannya. Hujan bilang, semuanya sudah berakhir. Masa-masa sejuk dan dingin itu sudah sirna. Sebentar lagi summer akan datang.

Aku mengatakan padanya bahwa aku hanya mencintai hujan. Aku tidak butuh summer.  Aku hanya ingin menari di bawah hujan. Aku juga hanya ingin berdoa banyak-banyak saat derasnya hujan. Lantas, apa yang bisa aku lakukan jika hujan tak ada dan summer tiba?

Baca Juga:  Ketum APTIKNAS Apresiasi Rekor MURI Menteri Kebudayaan RI Pertama

Hujan datang tepat di malam aku menangisinya. Dia mengetuk kaca jendela kamarku, berbisik bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi bagaimana bisa, sedangkan kini lukaku bertaburkan namanya. Berdarah-darah hingga aku tak berdaya. Aku tidak menyukai summer. Aku tidak ingin summer ada. Tapi hujan seolah mengejekku, bilang bahwa aku terlalu arogan menyikapi semuanya. Kesukaan adalah hal yang tumbuh dari kebiasaan. Hujan bilang, kesukaanku padanya pun tumbuh bersebab kebiasaan. Maka dari itu, kehadiran summer kelak, mungkin saja juga menjadi kecintaanku. Tapi, aku enggan mendengarkan celoteh hujan. Aku menutup telingaku dengan bantal besar. Lalu menangis sesenggukan, semerdu lagu cinta kesukaan kami berdua.

Aku tidur dengan airmata yang berserakan di pipi. Hujan benar-benar telah pergi. Pagi ini, summer untuk pertama kalinya, menyapaku dengan hangat. Cahayanya menerpa wajahku lembut. Kehangatannya memberikan kesan positif di hati, not bad, aku membatin. Hari-hari berikutnya, summer lah yang menemaniku. Aku menemukan sosoknya ketika memungut daun jatuh di depan toko kue itu. Dia melambaikan tangan dan mengajak berkenalan. Sore itu, aku tahu bahwa ia bernama Biru.

Biru sangat berbeda dengan hujan. Dia menyukai Mars. Dia menyukai senja. Juga menyukai cokelat panas. Dia tidak suka hujan. Katanya, hujan itu hal terburuk yang pernah ada. Jika saja aku tak mengenalnya sebagai kekasih baruku, tentu aku akan marah besar padanya. Berani benar mengatai hujanku adalah hal terburuk. Hujan itu adalah yang terbaik. Hujan adalah saat terbaik untuk memanjatkan doa. Meminta banyak-banyak pada Tuhan agar dihadiahkan banyak berkah. Lantas, mengapa Biru tak menyukainya?

Baca Juga:  Pencak Silat Budaya Ramaikan Jakarta Sport Festival 2024

“Bagaimana kalau kita menari di bawah hujan. Sekali saja.” Pintaku kala itu.

Biru menggeleng, “Aku tak suka hujan, Mia. Hujan membuat tubuhku flu. Lebih baik kau ke sini, dengarkan aku bercerita tentang Mars. Planet merah dengan banyak cinta. Kau mau mendengarnya?”

Aku terdiam, berkedip dua kali, namun menurut. “Kau tahu kenapa aku suka Mars?” Biru bertanya. Aku menggeleng, menatapnya menunggu jawaban. “Karena di Mars tidak ada hujan,” katanya tajam. Aku melirik Biru dalam. Mengapa dia menekan kata hujan di kalimatnya? Sebegitu bencinyakah ia pada hujan? Atau dia tahu alasan mengapa aku kini sangat mencintai hujan? “Dan tidak akan ada hujan di langit senja!” lirihnya. Aku terdiam.

Hari-hari berikutnya, kunamai dia dengan sebutan summer. Dia benar-benar summer untuk hatiku yang dingin. Dia suka bercanda dan melontarkan banyak jokes, namun aku terus saja menyisir kenangan bersama hujan. Mengais-ais masa lalu dengan ketidakpastian. Apa kabar hujanku? Kapan dia akan datang lagi? Aku rindu bermain di bawah rintiknya. Tertawa-tawa melepaskan segala beban yang terasa. Aku bahagia bersama summer, tentu saja. Namun aku lebih bahagia jika bersama hujan.

Kabar hujan datang ketika malam itu kuputuskan meneleponnya. Hujan memberi kabar beserta guntur yang bersahut-sahutan. Menyambar gendang telingaku tanpa ampun. Minggu depan, hujanku akan menikah. Aku tergugu. Apa yang akan aku katakan selanjutnya? Sambungan telepon masih tersambung. Apakah mengatakan selamat adalah yang terbaik? Atau mematikan sambungan telepon dengan alasan jaringan yang kurang bersahabat?

Baca Juga:  Pencak Silat Budaya Ramaikan Jakarta Sport Festival 2024

Malam itu, kuputuskan untuk tertawa dalam airmata. Kami bercanda seperti biasa. Namun hatiku terluka karenanya. Dia menyebutkan bahwa gadis itu cantik luar biasa. Bahkan aku tak sudi membayangkannya. Bagaimana mungkin aku membayangkan gadis yang sudah merebut hujan dariku? Hujan tetap tak menyadari bahwa aku begitu mencintainya. Usai bertelepon, airmataku luruh satu-satu. Hingga akhirnya menderas dan membuat bantalku basah.

Musim hujan benar-benar sudah berlalu. Masa-masa membahagiakan sudah usai. Tak ada lagi yang tersisa selain duka lebam yang dicongkelnya dengan geram. Panah yang ditancapkan hujan terlalu dalam hingga melukai hatiku. Sejak malam itu, aku berusaha menerima summer. Mencintai summer apa adanya. Mencintai cerita summer tentang Mars yang penuh cinta. Dan sejak malam itu pula, aku berhenti mencintai hujan. Berhenti menangisi tentangnya. Berhenti mengharapkan kedatangannya. Meski kerapkali, hatiku tetap setia menyusuri kenangan.

 

Nanda Dyani Amilla, Mahasiswi FKIP UMSU, Semester 6, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Penulis puluhan antologi cerpen dan puisi. Novel perdananya berjudul “Kejebak Friendzone” akan segera terbit dalam naungan Novela, Bentang Pustaka. Sapa ia di email : [email protected] atau intip galerinya di instagram : gadishujan_

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].

Related Posts

1 of 40