NUSANTARANEWS.CO – Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, M. Nasir mengatakan, produk pameran start-up hasil pengembangan salah satu perguruan tinggi swasta di civitas akademik STMIK Primakara Bali yang menjadi tuan rumah pertemuan Forum Rektor PTS Se-wilayah VIII, BALI, NTB dan NTT itu untuk menarik minat para undangan. Kedatangan Nasir kali ini tidak lain untuk memotivasi perguruan tinggi swasta untuk mengembangkan produk-produk start-up yang dapat dijadikan industri.
“Pemerintah kini tidak lagi membedakan mana perguruan tinggi negeri (PTN) mana perguruan tinggi swasta (PTS). Karena keduanya mengerjakan hal yang sama maka kemajuannya terus didorong oleh Kemenristekdikti,” ujar Nasir melalui keterangan tertulisnya saat di Bali, Sabtu(12/11/2016).
Menurutnya, penerapan industri berbasis teknologi kini sangat penting. Perguruan tinggi kedepan harus bisa menyiapkan sumberdaya yang berkualitas. Untuk 30 tahun kedepan, Nasir menyebutkan Indonesia akan memasuki era bonus demografi atau Millenium Development Goals (MDG) dimana jumlah angkatan kerja akan semakin banyak.
“Dengan melihat perkembangan dalam menghadapi persaingan global maka peran perguruan tinggi semakin strategis. Maka dari itu, perguruan tinggi harus dikelola dengan maksimal untuk menghasilkan tenaga kerja yang baik. Supaya semua lulusannya nanti memiliki kompetensi pada bidangnya masing-masing,” kata Nasir.
Selain itu, menurut Nasir, permasalahan yang masih dihadapi Indonesia adalah bagaimana cara meningkatkan nilai tambah untuk daya saing good and services. Menristekdikti menilai salah satu solusinya dapat melalui program technopreneurship. Namun sayangnya prosentase wirausaha Indonesia masih berada di angka 0,43% dari total usia produktif angkatan kerja. Angka ini jauh tertinggal dari negara tetangga seperti Thailand (3%), Malaysia (5%) dan Singapura (7,2%).
“Oleh karena itu perguruan tinggi harus merestrukturisasi cara pandangnya menjadi entrepreneur university. Kemenristekdikti dalam mendukung hal ini telah memiliki satu kelembagaan penguatan inovasi yang mempunyai fungsi memfasilitasi hasil litbang atau invensi yang sudah siap masuk ke start-up,” ungkapnya.
Nasir menyebutkan problem lainnya yang kerap dihadapi perguruan tinggi juga berada pada para dosennya.
“Nanti kalau yang vokasi kami create 50% dari universitas, 50% lagi dari industri. Tapi bagaimana jika dosen tersebut pendidikannya masih S1, D4 dan sebagainya? Nah kita akan gunakan kualifikasi kompetensi nasional, kita lihat ada di level berapa dosen tersebut,” imbuhnya.
Nasir berharap paling tidak wirausahawan (technopreneur) Indonesia mencapai angka 2% dari total angkatan kerja. Akan lebih baik lagi apabila wirausaha ini berbasiskan teknologi (iptek). Untuk itu Nasir juga mendorong agar perguruan tinggi swasta semakin banyak yang memiliki akreditasi A.
“Maka saya melalui Dirjen Kelembagaan jika ada wilayah yang akreditasi B nya gemuk, itu agar didorong dan didukung supaya jadi A,” tambahnya.
Adanya inkubator bisnis di tingkat perguruan tinggi juga akan didorong supaya lebih banyak lagi. Dalam hal ini Direktorat Jenderal Penguatan Inovasi Kemenristekdikti akan mendukung dengan memberikan alokasi dana IBT. Saat ini salah satu PT yang telah mendapatkan dana tersebut adalah STMIK Primakara Bali sebesar kurang lebih Rp. 1,5 miliar. Dengan dana tersebut PTS ini telah menghasilkan beberapa produk start-up seperti Prenatune (alat pendeteksi perkembangan otak pada janin), SAPS-AGRO (Smart Automatic Power System Agro), Prima GSM 4G M2M RTU, dan lain-lain.
Ketua STMIK Primakara, I Putu Agus Swastika mengatakan pihaknya sangat terbantukan dengan adanya dukungan dari Kemenristekdikti. Untuk itu, kampusnya akan mendorong perguruan tinggi lainnya terutama yang berada di wilayah Bali agar sesegera mungkin memiliki inkubator bisnis masing-masing. (Andika)