Puisi Nuriman N Bayan
KAU YANG MENGUCAP AKU YANG MENGUSAP
Pagi itu, kita tak sekadar bersepakat tentang waktu
atau tentang pagi, di mana ayah dan ibu kita, beranjak
melewati jalan berliku, hamparan pasir
kala matahari di atas kepala, sungguh sungguh berterik
hingga keringat bercucuran semacam jeram
semacam hujan di Ternate yang tak pernah tunai
bukan juga tentang sore, di mana ayah dan ibu kita
terpeleset dari bukit, membelah sungai demi sungai
hingga terkadang sampai malam mereka bertarung dengan jarak
tak seperti para pejabat yang asyik-asyik di gedung berlantai
sambil menikmati desiran angin buatan manusia dan berdebat soal-soal basi
bukan juga tentang malam, di mana ayah dan ibu kita
mendiskusikan nasib anak anak: biaya sekolah yang belum lunas
biaya kesehatan yang melambung tinggi
sembilan bahan pokok yang mengiris akal
bahan bakar yang membakar hati
seakan-akan mereka tak pernah istrahat
tak seperti para pejabat, yang tak pusing pusing
tinggal memasukkan ATM, biru-biru dan merah-merah keluar
seperti janji tumpah dari mulut politikus.
Pagi itu, kita tak sekadar bersepakat soal tempat
atau sebuah bangku di Taman Nukila
tempat orang orang menikmati musim
menyimak percakapan ombak, desir angin
sambil menyeduh minuman kesukaan mereka
bukan juga tentang kafe atau hotel hotel berbintang
orang orang bergantian menaruh apa saja, menidurkan siapa saja
menikmati minuman apa saja, memegang apa saja, memakan apa saja
bukan juga tentang Mall, orang orang membeli apa saja, memainkan apa saja
dan tanpa harus berjalan, mereka bisa naik ke lantai demi lantai dengan seketika
bukan juga tentang kampus kita, di mana ketika mahasiswa
berteriak jadwal mata kuliah yang basi, fasilitas yang memuakkan
para petinggi memegang pinggang, mengangkat kepala tinggi-tinggi
semacam burung suwengko, semacam kelapa-kelapa di Halmahera
sambil melepas bahasa kanak kanak.
Sesungguhnya sepakat kita tak sepedih itu
sepakat kita lebih dari sepakat yang tertulis dalam kitab undang-undang
atau dalam surat-menyurat, atau angka angka dan huruf huruf di kartu hasil studimu
yang kutahu tidak membuktikan sebuah kebenaran dan kecerdasan
selain lembar manipulasi dari sistem pilih kasih.
Sesungguhnya sepakat kita tak sekeji itu
tapi ingatanmu, bagai film tak berepisode
maka biarlah aku mengusap, ucapmu itu dalam sunyi
kala sajadah menempel di keningku.
Ternate, 17 Oktober 2017.
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]