NUSANTARANEWS.CO, Surabaya – Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyatakan bahwa tugas pendidik semakin kompleks. Seiring kemajuan teknologi informasi, kata Menag, manusia kini hidup di dua dunia, nyata dan maya, yang berpengaruh pada tindakan dan perilaku. Karena itu, guru dan tenaga kependidikan (GTK) harus mampu merespon disrupsi teknologi.
Menurut Menag ada dua hal yang harus direspon oleh guru agar dapat menjadi pendidik berparadigma milenial. “Hal pertama yang harus disikapi adalah globalisasi yang membuat manusia seolah-olah sudah borderless, tanpa batas teritorial. Kaburnya batas teritori juga mengaburkan batas nilai dan budaya,” katanya dikutip dari laman resmi Kemenag.
Baca Juga:
- Kemenag Perkuat Program Pengembangan Kemahasiswaan Berorientasi Akreditasi
- Kemenag: Idealisme Sifat Luhur Kepahlawanan Harus Diteladani
- Gandeng SMA/SMK di Seluruh Kabupaten di Indonesia, Kemenag Gelar Perkemahan Rohis
Globalisasi, lanjutnya, tentu saja membawa pengaruh positif. Namun, globalisasi juga membawa paham-paham yang tidak saja bertolak belakang dengan nilai-nilai keindonesiaan, tetapi juga nilai agama yang dianut masyarakat Indonesia. Pengaruh dari luar yang semakin mudah masuk mengundang masuknya liberalisasi, sekularisasi, dan transnasionalisme yang negatif ke ruang privat keluarga.
“Bila tidak diwaspadai, itu semua akan merusak tatanan kehidupan dan nilai-nilai yang kita anut,” ujar Menag pada puncak peringatan Hari Guru & Anugerah Guru dan Tenaga Kependidikan Madrasah Berprestasi 2018, di Surabaya, Minggu (25/11).
Kedua, sambungnya, adalah disrupsi teknologi, yang ditandai munculnya berbagai inovasi perangkat yang berbasis artificial intelligence (kecerdasan buatan). Saat ini, anak didik tidak bisa dilepaskan dari perangkat digital virtual dari hidupnya.
Dalam dunia pendidikan, era ini bisa positif, tetapi hal itu juga dapat menyebabkan dehumanisasi atau ketercerabutan sisi kemanusiaan dari diri bangsa. “Kita sering mengalami, berkumpul dengan keluarga tetapi tidak saling bicara. Itu bukti bahwa dehumanisasi sudah mempengaruhi kehidupan kita,” katanya.
Dengan fenomena ini, kata Menag, pendidik mendapat tantangan yang amat serius. Guru dituntut lebih memberikan perhatian terhadap persoalan ini. “Guru harus dapat meneguhkan posisi anak didik agar tetap berada dalam jatidiri bangsa indonesia yang relijius dan agamis” katanya.
Tantangan dunia luar juga menjadi pekerjaan Kementerian Agama. Menurut Menag, seluruh program di kementerian yang dipimpinnya berfokus dalam dua hal. Pertama menjaga moderasi Islam, yang fokusnya menjaga agar pemahaman dan pengamalan keagamaan di Indonesia tetap moderat, jauh dari ekstrimisme. “Kita terus menyerukan moderasi beragama, bukan moderasi agama, karena agama itu sendiri tentunya sudah moderat. Tetapi cara kita memahami agama boleh jadi terjebak pada perilaku berlebihan,” katanya.
Hal kedua yang selalu dijaga Kementerian Agama adalah menjaga pemahaman bahwa beragama pada hakikatnya adalah juga berindonesia dan sebaliknya. Bernegara pada dasarnya merupakan pengamalan beragama yang diyakini.
“Saya ingin menegaskan kepada para pendidik kita, agar menyadari tantangan globalisasi dan disrupsi teknologi serta menyikapinya dengan benar dengan menjaga jatidiri kebangsaan dan keislaman,” pungkasnya.
Pewarta: Achmad S.
Editor: M. Yahya Suprabana