Kolom

Kapitalisasi Infrastruktur Era Kepemimpinan Jokowi

Presiden Jokowi Saat Meninjau Pembangunan Infrastruktur (Foto Dok. Setkab)
Presiden Jokowi Saat Meninjau Pembangunan Infrastruktur (Foto Dok. Setkab)

NUSANATARANEWS.CO – Kapitalisasi infrstruktur di sini diartikan sebagai penumpukkan modal secara subjektif guna memonopoli pembangunan dan penjualan jasa infrstruktur jalan Tol, LRT, dan KA cepat Jakarta-Bandung. Biaya infrastruktur jenis ini sangat mahal.

Di samping harganya mahal, menurut informasi hampir seluruh bahan konstruksi jalan Tol, LRT, dan KA cepat Jakarta-Bandung didatangkan dari Cina Komunis. Begitu pula dengan pekerjanya mulai dari pekerja kasar (legal dan ilegal) hingga pekerja skilled dan ahli sangat banyak dari sana.

Namun karena pemerintah sudah menetapkannya sebagai kebijakan publiknya maka Pribumi tak berdaya menolak kecuali menerima dengan wajah berkerut karena harus mau menerima konsekwensi utang untuk dibayar Pribumi kepada pemerintah Indonesia selama 30 tahun ke atas.

Kebijakan Jokowi tampaknya tidak sesuai dengan nilai nilai dasar Bela Negara yakni: Cinta tanah air—sadar berbangsa dan bernegara—yakin Pancasila sebagai ideologi negara—rela berkorban demi bangsa dan negara—memiliki kemampuan awal Bela Negara.

Kebijakan pemerintah semacam itu tentu menimbulkan berbagai macam implikasi bagi bangsa Indonesia. Antara lain, pertama, beban utang. “Wakil Presiden RI Jusuf Kalla (JK) menyebut biaya proyek jalan layang Light Rail Transit (LRT) yang menghubungkan Jakarta—Bogor—Depok—Tangerang—Bekasi mahal. Biaya tiap kilo meter Rp 500 miliar”.

Sementara menurut Pundjung Setya Brata, Direktur Operasi PT. Adhi Karya bahwa panjang rel LRT 44,43 kilo meter. Biaya perkilo meter Rp. 673 miliar (44,43 x Rp. 673 miliar = Rp.29,9901,39 triliun).

Baca Juga:  Runtuhnya Realitas di Era Budaya Pop

Ini satu bentuk kekeliruan pengambilan kebijakan publik meskipun terbilang teknologi tinggi. Sedangkan untuk kepentingan Pribumi Rp. 2 triliun utang BPJS di rumah sakit tak dibayar. Ini juga mungkin sengaja membukakan peluang untuk pembangunan kapitalisasi kesehatan oleh ECI dan Cina Komunis untuk menggantikan fungsi BPJS.

Kembali kepada cerita jalan semahal itu, bukan untuk membangun infrastruktur Pribumi jelata. Melainkan membangun pemerasan Pribumi untuk kepentingan kelompok kapitalis ECI dan elite aparatus pemerintahan Jokowi. Kalau Pribumi level menengah ke bawah sukar untuk menikmati fasislitas infrastruktur seperti itu.

Tetapi Pribumi tetap wajib membayarnya melalui pajak. Jadi kebijakan pemerintahan Jokowi membangun infrastruktur LRT hanya menimbulkan beban berat utang bagi Pribumi Indonesia karena mereka terpaksa membayar pajak mungkin selama 30 tahun untuk melunasi utang itu, tetapi mereka tak pernah menikmatinya.

Kedua, menutup lapangan kerja. Membludaknya tenaga kerja kasar, tenaga kerja skilled, dan tenaga kerja ahli dari Cina sejak era Kabinet Kerja Jokowi mulai berkuasa, telah menimbulkan keresahan massif di Indonesia. Faktor keresahan itu datang dari keluhan KSPI bahwa selama 4 (empat) tahun terakhir. Sebanyak 1 juta tenaga kerja dalam negeri di PHK.

Mungkin saja PHK itu dilakukan keran telah digantikan pekerja kasar dan pekerja skilled dari negara Tirai Bambu tersebut. Berhubung memang ECI sangat rasialis kepada Pribumi Nusantara Indonesia. Jadi proyek proyek yang dibiayai dengan investasi dari Cina pasti menutupi lowongan kerja bagi Pribumi.

Baca Juga:  Fenomena “Post Truth" di Pilkada Serentak 2024

Apalagi Jokowi memang memancing masuknya investasi Cina ke Indonesia dengan kesepakatan tertutup memasukkan tenaga kerja ilegal. Padahal Jokowi dipilih menjadi Presiden RI ketujuh untuk menciptakan lapangan kerja dalam rangka membangun kemakmuran Pribumi. Namun kenyataan sebaliknya.

Implikasi ketiga adalah menutupi pasar industri baja dalam negeri. Semua proyek infrastruktur yang dibiayai investasi Cina menjadi faktor penutup atas pasar industri baja dalam negeri. Kemungkinan investasi Cina hanya mau dilakukan di Indonesia tatkala semua keperluan konstruksi utamanya harus dipasok dari negara asalnya.

Biasanya sikap tekanan psikologis Cina kepada pemerintah Indonesia seperti itu. Padahal kalau pemerintah menolaknya juga tidak merugikan. Sebaliknya jika diterima, pasti merugikan Indonesia seperti saat ini. Kedaulatan negara “rusak berantakan” akibat kepemimpinan Jokowi yang salah kelola politik dalam negeri dan politik luar negeri.

Dampak yang kelima adalah mengihidupi negara Cina. Semua proyek proyek infrastruktur dan proyek proyek eksploitasi tambang di Indonesia, merupakan keputusan keliru pemerintahan Jokowi karena hanya menjadi media menghidupi negara Cina.

Contoh proyel LRT, jalan Tol, eksploitasi tambang di Morowali, di Ketapang Kalbar, di Maluku Utara, di Papua, di Banten, di Jawa Barat, dan lain seterusnya. Semuanya ini bersifat penkghianatan pemerintah terhadap rakyat Indonesia.

Baca Juga:  Transisi Tarian Dero Menjadi Budaya Pop

Selanjutnya yang keenam adalah menguntungkan para pengemban ECI. Proyek proyek jalan Tol dan LRT di kawasan perkotaan Jakarta—Bogor—Depok—Tangerang—Bekasi, hanya untuk kepentingan pemasaran dan penjuaan realestate apartemen dan perumahan yang merupakan bisinis ECI.

Lihat mereka iklankan bahwa akses jalan Tol dekat dan akses LRT juga dekat dan mudah. Nah untuk Pribumi bisa dapat manfaat tambahan apa dari proyek proyek berteknologi semi modern seperti itu?

Pembangunan yang dilakukan Jokowi selama menjabat Presiden RI kurang lebih 4,3 bulan ini hanya menimbulkan kelemahan nasional dan menguatkan pengaruh ECI dan Cina pada bidang ekonomi, politik, sosial budaya, dan pengelolaan sumber daya alam, serta pengelolaan geografi.

Dari realitas sosial ini, Jokowi bukanlah Presiden yang baik bagi Indonesia. Oleh karena itu masyarakat harus mengevaluasi kemampuan dan manfaat politik nasional dan politik luar negeri selama kepemimpinan mantan Wali Kota Solo tersebut. Begitu pula dengan investasi Cina di Indonesia harus pula dievaluasi.

*M.D. La Ode, Penulis adalah Direktur Eksekutif CISS dan Sekjen DPP FBN RI.

*Artikel kolom di atas merupakan tanggungjawab penulis sebagaimana tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi.

Related Posts

1 of 3,063