NusantaraNews.co – Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan (LBP), melalui SK No.S-78-001/02/Menko/Maritim/X/2017, telah mencabut moratorium proyek reklamasi yang merubah wajah 17 pulau di Teluk Jakarta pada 5 Oktober 2017 dengan alasan semua persyaratan yang diminta telah dipenuhi pihak pengembang. Sementara di pihak lain Gubernur DKI yang baru dan saat SK tersebut terbit belum dilantik berada dalam posisi difaith accomply oleh pencabutan moratorium sepihak itu, sedangkan janji politiknya adalah menolak adanya proyek tersebut.
Maka, kita warga DKI Jakarta dan juga Indonesia dapat pastikan memperoleh tontonan adu kekuatan kewenangan antara pemerintah dan pemerintah DKI Jakarta antara Menko Kemaritiman dengan Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang sama-sama bersikap tegas pada dua sisi yang berlawanan.
Mengapa sejatinya Menko Kemaritiman begitu “memaksakan diri dan pasang badan untuk tetap melanjutkan proses reklamasi 17 Pulau Teluk Jakarta yang sudah ditentang oleh banyak pihak dan kelompok masyarakat? Apakah reklamasi ini sesuai dengan ketentuan konstitusi, yaitu pasal 33 UUD 1945 dan apakah sesuatu yang mendesak (urgent) dilaksanakan?
Dengan mengabaikan berbagai pelanggaran Undang-Undang dan peraturan yang telah terjadi pada proses pelaksanaan reklamasi Teluk Jakarta, maka pembangunannya juga tak mengindahkan pasal 33 ayat 2 UUD 1945, yaitu: Bumi, Air dan kekayaan yang tersimpan di dalamnya dkuasai oleh negara.
Artinya, proses penyerahan reklamasi ini jelas sekali melanggar konsitusi tersebut, selain diserahkan pada pengembang korporasi pembngunannya juga tak memberikan manfaat pada kesejahteraan masyarakat dan hanya untuk kesejahteraan atau kemakmuran orang per orang. Selain itu, berdasarkan pengakuan para nelayan yang kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian di sekitar wilayah Teluk Jakarta yang biasanya mereka memperoleh penghasilan rata-rata per hari Rp. 500.000, maka pemerintah dengan memberikan izin pada pengembang untuk membangun Teluk Jakarta melalui reklamasi telah menghilangkan penghidupan dan pekerjaan yang layak bagi masyarakat.
Jika dihitung rata-rata per bulan maka setiap nelayan kehilangan penghasilan untuk menafkahi keluarganya sebesar Rp 10.000.000 sampai Rp 12.500.000. Apakah ini bukan pelanggaran konstitusi lagi dan tindakan penghilangan Hak Azasi Manusia untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak?
Berdasarkan pertimbangan konstitusi dan dampak yang telah ditimbulkan atas adanya reklamasi Teluk Jakarta itu, maka kami meminta pada Presiden untuk menghentikan pelaksanaan pembangunan Teluk Jakarta atau Reklamasi, dan memberikan saran berdasar atas aspirasi dari masyarakat agar dialihkan misalnya:
- Membangun pangkalan pertahanan RI
- Memperluas wilayah wisata bahari Ancol
- Membangun pengelolaan industri perikanan terpadu berbasis Koperasi untuk rakyat mulai dari hulu sampai dengan hilir
- Membangun komplek perumahan nelayan terpadu
- Membangun pusat penelitian dan pengembangan industri perikanan dan kelautan
- Menbangun pusat Karantina dan laboratorium kesehatan dan lingkungan.
Demikianlah yang dapat disampaikan, supaya jalannya pembangunan dan roda perekonomian bangsa dan negara tetap taat pada dasar negara Pancasila dan konstitusi UUD 1945 serta terlebih penting dan utama adalah ditujukan untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, bukan orang per orang.
Penulis: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi
Editor: Ach. Sulaiman