Hal-Hal tak Terduga (Terinspirasi dari Kisah Nyata Aktivis Demokrasi)
Oleh : Luhur Satya Pambudi*
NUSANTARANEWS.CO – Indrya baru keluar dari kamarnya dan bersiap pergi ke kampus, ketika Hendro kakaknya bergegas mendekatinya dengan membawa koran edisi terbaru hari itu.
“Memangnya ada berita apa? Sepertinya Mas Hendro kok tergesa-gesa begitu?”
“Ada kejutan buatmu, Rya. Coba lihat, foto siapa di headline koran hari ini?” ujar Hendro seraya menyerahkan koran pada adiknya.
“Rudianto Suherman? Jadi dialah orang berinisial ‘RS’ yang selama ini disebut-sebut sebagai dalang kerusuhan di ibukota?” tanya Indrya dengan nada tinggi.
“Iya, Rudi yang pernah kemari menemuimu itulah yang menjadi orang paling dicari pihak keamanan saat ini!”
Indrya menggelengkan kepalanya sembari menghela napas. Ia sama sekali tak menduga bahwa Rudi, lelaki yang pernah dikenalnya tersebut, dikabarkan di koran sebagai biang keladi kerusuhan yang tempo hari berlangsung di ibu kota. Selain itu, ia pun dinyatakan sebagai ketua sebuah partai politik terlarang.
“Yang selama ini kutahu sebatas Rudi bekerja di sebuah LSM. Dan dia memang pernah cerita punya banyak teman di luar negeri. Tapi, kok aku belum percaya dialah dalang kerusuhan itu, ya? Kalau jadi ketua partai masih mungkin. Mas Hendro masih ingat Rudi seperti apa?”
“Iya, aku ingat betul. Rudi itu penampilannya selalu khas, dengan rambutnya yang tersisir rapi, pakai kaca mata, terus…”
“Kemeja polosnya yang selalu ketat, bercelana panjang kain, dan sepatu kulitnya warna hitam. Betul, Rudi memang khas sekali penampilannya,” lanjut Indrya.
“Hmm, apa iya orang sesantun dia bisa jadi provokator, ya? Aku ragu.”
Setelah berdiskusi kecil dengan Hendro dan sejenak menenangkan dirinya, Indrya jadi berangkat ke kampus untuk bertemu sahabatnya, lantas mencari referensi bagi skripsinya di perpustakaan. Sesampainya di kampus, ia terpaku belaka ketika Deden -adik kelasnya- serta-merta menghampiri dan menyalaminya.
“Mbak Indrya yang tabah, ya. Aku yakin betul, Mas Rudi sebenarnya tidak bersalah. Kami tahu, dia hanya jadi kambing hitam aparat keamanan. Kami semua pasti berdoa buat kebaikan kalian. Yah, itulah risiko perjuangan menegakkan demokrasi di negeri kita. Orde Reformasi sudah makin jelas di depan mata.”
Indrya hanya mengangguk kebingungan, mengapa Deden berkata seperti itu? Ia sendiri tak terlalu mengenal adik kelasnya. Yang ia tahu, Deden teman Rudi dan aktivis demonstrasi di kampusnya. Namun ia tak paham, apakah Rudi berperan pula dalam sejumlah aksi unjuk rasa yang kerap terjadi di Yogyakarta dan biasanya berakhir rusuh itu. Yang jelas, pembawaan maupun penampilannya tidak identik dengan teman-teman aktivis lain yang dikenalnya. Menjelang tiba di perpustakaan, Indrya bertemu dengan Astari sahabatnya.
“Kamu sudah ketemu Deden dan kawan-kawannya? Mereka bersimpati padamu atas apa yang menimpa Rudianto Suherman,” ujar Astari dengan tersenyum.
“Ada apa, sih? Aku bingung, tadi Deden bicara tak jelas begitu.”
“Aku tadi juga kaget. Tapi aku bisa menduga apa yang dibilang Rudi pada Deden. Mungkin dia pernah bercerita kalau sudah jadian sama kamu, Rya.”
“Hah, jadian? Rudi tak pernah menyatakan cinta padaku. Lagi pula aku kan sudah punya pacar?”
“Iya, tapi sepertinya Deden dkk telanjur berasumsi kamu itu pacar Rudi. Tapi syukurlah, kamu sebenarnya bukan kekasihnya.”
“Iya, sih. Tapi aku sedih dengan nasib Rudi. Bagaimanapun dia temanku juga, kan?”
***
Gadis itu sejenak menerawang sosok Rudi. Lelaki tersebut mengajaknya berkenalan di bus kota, setelah mereka berjalan beriringan keluar dari kampus Indrya. Sehabis itu, mereka kerap bertemu di kampus, hingga Rudi mendapatkan nomor telepon dan alamat rumahnya, entah dari siapa. Indrya bisa merasakan bahwa lelaki yang selalu tampil perlente itu melakukan upaya pendekatan kepadanya. Tentu ia membatasi hubungannya dengan Rudi sebelum telanjur jauh. Kebetulan, saat itu sudah hampir setahun Indrya serius berpacaran dengan Haris, teman lamanya di SMA. Mereka bahkan berencana menikah setelah kuliahnya selesai sebentar lagi.
Indrya memang belum sempat mengatakan dirinya sudah memiliki kekasih, sementara Rudi pun belum pernah menanyakan hal itu. Bagi Indrya, lelaki tersebut tak lebih dari teman biasa. Beberapa kali Rudi menelepon dan datang ke rumah Indrya, tapi malah lebih sering Hendro, Rani adiknya, atau ibunya yang menerimanya. Yang jelas, semua orang di rumahnya terkesan dengan penampilan rapi dan betapa sopannya seorang Rudi yang mengaku bekerja di sebuah LSM atau lembaga swadaya masyarakat itu. Indrya sendiri tidak tertarik mengetahui detail pekerjaan Rudi, bahkan ia tak tahu siapa nama panjangnya. Kendati sekejap, ia sempat terkesan kala si lelaki memberinya sebuah buku kumpulan puisi dalam bahasa Inggris karya Walt Whitman : Leaves of Grass. Dalam halaman kosong di balik sampul buku, Rudi menuliskan sesuatu :
“Indrya yang baik… Sehabis musim hujan ini -sehabis hujan reda- cobalah sesekali berjalan di atas ‘leaves of grass’. Pasti akan tercium wanginya nan segar. Begitu pula ‘leaves of grass’ ini pun ingin membawa kesegaran yang setara dengan rerumputan tadi.”
Ketika Indrya tengah melaksanakan KKN atau kuliah kerja nyata di desa, tanpa disangkanya Rudi menyusulnya ke lokasi. Namun, kebetulan ia baru saja pulang ke rumahnya. Pemuda itu bergegas kembali ke kota dan segera mendatangi tempat tinggal perempuan yang dikaguminya.
“Rya, tadi saya sudah sampai ke desa tempatmu KKN. Ternyata kau tiada di sana,” ucap Rudi yang gaya bicaranya kadang rada puitis.
“Oh, ya? Hmm, kebetulan memang saya sedang pulang,” sahut Indrya yang takjub sekaligus kurang suka melihat kegigihan Rudi demi menjumpainya. Semakin jelas bahwa lelaki tersebut memang menyukainya.
“Tadi saya bersua Pak Lurah dan teman-temanmu,” lanjut Rudi.
“Maaf, Rudi. Saya buatkan minuman untukmu dulu, ya,” kata Indrya sambil beranjak ke dalam. Sepertinya inilah waktu yang tepat baginya menjelaskan statusnya. Sebelum mengeluarkan segelas teh, Indrya menelepon Haris yang dimintanya segera datang.
Ketika Indrya telah kembali bercengkrama dengan Rudi di ruang depan, tibalah Haris yang segera mengecup hangat kening kekasihnya dan memeluknya.
“Rudi, ini Haris. Dia calon suami saya,” ungkap Indrya di pelukan kekasihnya.
“Halo, Rudi. Rya sudah sering bercerita tentang Anda,” sapa Haris.
“Oh, ya?” tanya Rudi yang serta-merta dadanya terasa sesak. Belum pernah sekali pun ia tahu Indrya memiliki kekasih. Tiba-tiba di depan matanya terlihat jelas kemesraan gadis pujaannya dengan bakal pendamping hidupnya. Haris sejenak berbasa-basi pada tamu kekasihnya. Namun, Rudi menyadari sudah selayaknya ia segera beranjak dari situ. Perjuangannya mendapatkan cinta Indrya sudah berakhir.
“Maaf, Rya dan Haris. Lebih baik saya permisi sekarang. Saya belum sempat istirahat, setelah menempuh perjalanan yang begitu panjang hari ini,” ucap Rudi yang sejatinya tidak hanya lelah raganya, tapi baru saja remuk hatinya pula. Dan sejak malam itu, Rudi tidak pernah muncul kembali di rumah Indrya.
Kurang dari setahun sejak Rudianto Suherman diberitakan sebagai provokator kerusuhan, koran-koran lantas mengabarkan tentang peristiwa tertangkapnya Rudi. Dalam sebuah proses pengadilan yang beraroma politis, Rudi dinyatakan bersalah dan divonis 15 tahun penjara. Namun dua tahun kemudian, terjadilah reformasi. Rudi termasuk yang dibebaskan dari penjara oleh rezim pemerintahan yang baru. Sekeluarnya dari penjara, Rudi menjadi figur publik yang cukup kondang. Ia dikenal sebagai anggota parlemen yang memiliki gagasan cemerlang. Dalam sebuah majalah, ia pernah menceritakan kisah patah hatinya, manakala gadis pujaannya yang berambut panjang tengah menjalani kuliah kerja nyata. Tentu saja Indrya gadis yang dimaksud Rudi. Sementara itu, Indrya dan Haris akhirnya bersanding di pelaminan. Dalam kurun waktu delapan tahun, mereka telah dikaruniai tiga orang anak.
***
Sekian tahun berselang. Setelah menikah, Indrya bekerja sebagai dosen di almamaternya. Sebuah seminar suatu ketika menghadirkannya sebagai salah satu pembicara. Di antara mereka yang menghadiri acara tersebut, ternyata ada seseorang yang pernah dikenalnya, yang pernah menyukainya sekaligus dikecewakannya dahulu.
“Saya hanya ingin mengucapkan salam jumpa dari seorang kawan lama. Kabar saya baik-baik saja dan semoga kabar Ibu Indrya begitu jua,” ujar Rudianto Suherman sumringah kala mereka berjumpa. Indrya hanya tersenyum simpul bertemu lagi dengan pengagumnya di masa silam. Ketika coffee-break tiba, Rudi kembali menghampiri Indrya dan bertanya,
“Rya, bolehkah aku berterus terang tentang sebuah masa lalu?”
“Silakan, Pak Rudi. Saya siap mendengarkan,” kata Indrya mencoba tetap santai.
“Aku pernah gagal memperjuangkan cintaku untuk mendapatkanmu.”
“Hmm, lalu?” Indrya belum mengerti arah pembicaraan Rudi.
“Tetapi, itu tak jadi masalah. Aku sudah cukup berhasil ikut memperjuangkan tegaknya demokrasi di negeri ini. Yah, walau aku mesti pernah merasakan jadi ‘penjahat’ dan tinggal di penjara dua tahun lamanya.”
“Syukurlah dan selamat ya, Pak. Lantas, bagaimana perjuangan cintamu selanjutnya?” tanya Indrya kemudian, dengan senyuman tanpa kekhawatiran.
“Syukurlah, perjuangan cintaku akhirnya berhasil juga pada perempuan yang rupanya memang pasangan jiwaku. Dia baru melahirkan tiga bulan lalu dan langsung dua. Anak kami kembar, salah satunya kuberi nama Indrya.”
Terasa sedikit masygul di hati Indrya karena nama anak Rudi ternyata ada yang sama dengan dirinya. Senyumannya mungkin sesaat tak terlihat manis. (TAMAT)
Luhur Satya Pambudi, lahir di Jakarta dan tinggal di Yogyakarta. Cerpennya pernah dimuat di Tribun Jabar, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Bali Post, dan sejumlah media lainnya. Kumpulan cerpen perdananya berjudul Perempuan yang Wajahnya Mirip Aku (Pustaka Puitika).
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: redaksi@nusantaranews.co atau selendang14@gmail.com.