NUSANTARANEWS.CO – China tengah menjajaki kemungkinan untuk tampil sebagai negara pelopor di panggung dunia. Inisiatif China dengan The Silk Road Economic Belt and the 21st-century Maritime Silk Road yang dilaunching Presiden Xi Jinping di Gedung Parlemen RI pada 2013 lalu merupakan awal dari bangunan infrastruktur tatanan dunia baru yang tengah dikampamyekan negara Tirai Bambu dalam sejumlah forum besar para pemimpin negar-negara di dunia. Tarbaru adalah Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, Swiss pada 17-20 Januari 2017.
Dalam sejumlah perhelatan super penting para pemimpin dunia, China terus tampil membawa gagasan baru tentang tatanan dunia baru. Proyek The Silk Road Economic Belt and the 21st-century Maritime Silk Road membuat China bisa dibilang akan menjadi lokomotif kapitalisme baru.
Presiden China, Xi Jinping telah berulangkali menegskan bahwa China tengah membangun koridor Jalur Sutra Maritim Abad 21 yang menghubungkan daratan dan perairan yang membentang dari China sampai ke jantung Eropa, yang melewati lebih dari 60 negara dalam koridor jaringan perdagangan dan transportasi yang terintegrasi. China berkeyakinan bahwa dalam era globalisasi tidak ada satu negara pun yang bisa tumbuh sendirian, melainkan harus tumbuh bersama-sama.
Pola distribusi kekayaan dan pola produksi maupun pola konsumsi masyarakat tengah mengalami perubahan yang cepat seiring dengan proses sentralisasi kapital. Perubahan bangunan sosial ini pun pada gilirannya juga akan mengubah bangunan lain, seperti bangunan politik, hukum, mental dan budaya, serta penghayatan ideologi masyarakat. Dengan kata lain, dunia kini tengah bersiap-siap menyongsong globalisasi gelombang ketiga setelah tatanan lama perlahan tapi pasti mulai rapuh.
Umat manusia akan segera meninggalkan zaman lama dan memasuki zaman baru. Sinyal kegagalan pranata-pranata lama untuk mengatasi masalah-masalah penting dunia tercermin pada resesi ekonomi dunia yang berkepanjangan, masih terus berlangsungnya aksi-aksi terorisme, kegagalan lembaga-lembaga keuangan internasional mengentaskan kemiskinan yang makin luas, dan perdagangan narkoba yang belum ada tanda-tanda untuk teratasi.
China tampil dengan berbagai ide dan gagasan tentang tatanan dunia baru. Menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inovatif, reformasi struktural yang inovatif, revolusi industri baru dan pembangunan ekonomi digital merupakan blue print yang telah berulangkali ditawarkan China kepada para pemimpin dunia di berbagai forum. Presiden Xi mengatakan, bahwa kita harus membangun ekonomi global yang lebih terbuka memberikan fasilitasi dan liberalisasi dalam perdagangan dan investasi guna mendongrak pertumbuhan ekonomi global. Termasuk pembangunan infrastruktur dan interkonektivitas khususnya bagi UMKM dan negara berkembang untuk bisa berpartisipasi dalam global value chain serta menghindari proteksionisme.
Lebih lanjut, Forum Ekonomi Dunia (WEF) yang digelar di Davos, Swiss Xi Jinping jadi bintangnya. Sebab, di forum tersebut gagasan Xi untuk memberikan solusi baru guna memecahkan berbagai persoalan dunia ditunggu-tunggu. Gagasan tentang globalisasi yang lebih inklusif sejalan dengan tema WEF di Davos yakni ‘Kepemimpinan Responsif dan Bertanggungjawab’. Tanggung jawab untuk mempromosikan perdagangan bebas di wilayah ini secara alami jatuh pada China, ekonomi terbesar kedua di dunia. Kata Dr. Oh Ei Sun, rekan senior dengan S. Rajaratnam School of International Studies di Singapura Nanyang Technological University.
Di tengah-tengah derasya arus penolakan dunia terhadap globalisasi, China justru berkata sebaliknya. Menurut Xi, globalisasi telah memberikan manfaat positif bagi negaranya. Dan untuk memepertegasnya, China mengajukan konsep globalisasi inklusif agar bisa transparan, terbuka, bebas dan bisa dipertanggungjawabkan. “Dengan munculnya populisme, proteksionisme, dan nativisme, dunia telah datang ke sebuah perempatan bersejarah di mana satu jalan mengarah ke perang, kemiskinan, konfrontasi dan dominasi. Sementara jalan lainnya mengarah ke perdamaian, pembangunan, kerja sama dan solusi yang saling menguntungkan,” kata Kepala Kantor Informasi Dewan Negara China, Jiang Jianguo. (Sego/ER)