Nusantaranews.co – Ada yang menarik dari Rakernas III Pospera pada tanggal 26-28 Januari 2018 di Medan. Ketika sesi tanya-jawab dalam konferensi pers, seorang wartawan secara kritis bertanya, “Kenapa hasil rekomendasi Rakernas Pospera seperti partai politik?”
Wajar, pertanyaan itu muncul karena dari tujuh hasil rekomendasi Rakernas Pospera lebih banyak penguatan di bidang politik. Target Pospera pada pemilu 2019 merebut 7% kursi legislatif, terutama di tingkat DPR RI menjadi agenda hangat dalam rapat pleno.
Pospera yang lahir dari kalangan generasi ’98 boleh dikatakan generasi terlambat mengambil alih kekuasaan perpolitikan Indonesia. Beda dengan generasi ’66 begitu muda dan mudah dikarbit untuk ambil alih kekuasaan sehingga menimbulkan generasi korup dan meninggalkan warisan sampah yang harus ditanggung oleh generasi Indonesia sampai sekarang.
Hampir 20 tahun perjalanan reformasi yang diperjuangkan mahasiswa pada tahun 1998 menjadi kegelisahan aktivis ’98 atas tanggungjawab moral mereka pada cita-cita reformasi. Melahirkan orang-orang baik dan menjiwai roh reformasi (baca : revolusi) adalah menjadi kewajiban Generasi ’98. Tidak cukup sekedar membuka “pintu demokrasi”, tapi juga seharusnya ikut masuk bertarung mengalahkan kekuatan lama (generasi Orba) maupun dari kaum opurtunis berduit yang berebut mengambil kue kekuasaan.
Kalau mau dihitung jumlah aktivis ’98 yang duduk dikekuasaan baik di eksekutif maupun legislatif hampir tenggelam. Anggota DPR RI yang berjumlah 560 kursi cuma ada 4 orang yang berasal dari kalangan pengerak reformasi ’98 dulu. Begitu juga di tingkat DPRD yang tersebar diberbagai daerah pun tidak muncul. Apalagi di level menteri dan gubernur tidak ada sama sekali berlatar belakang aktivis ’98.
Tampuk-tampuk kekuasaan baik di pusat maupun di daerah masih dikuasai pihak-pihak lama dan kalangan muda berduit membeli suara rakyat.
Demokrasi diperjuangkan generasi ’98 ternyata menjadi demokrasi berbiaya tinggi dibuat oleh kekuatan lama dan kalangan opurtunis penikmat kekuasaan. Tingginya biaya politik membuat kalangan aktivis lumpuh untuk bisa bertarung merebut kekuasaan di Pilkada ataupun Pileg.
Dari sistem otoriter menjadi sistem demokrasi maka konsekuensinya adalah terbuka bagi siapapun untuk menduduki kekuasaan. Yang menjadi tugas tertinggal dari generasi ’98 adalah meluruskan tatanan demokrasi yang diperjuangkannya menjadi demokrasi yang membuka kran bagi orang-orang baik dan pro rakyat untuk bisa duduk dikekuasaan tanpa dibebani biaya politik.
Banyak permasalahan-permasalahan bangsa dan negara yang membelenggu rakyat dan masih kuatnya mafia bercokol mengkorup negeri ini serta belum tuntasnya agenda-agenda reformasi (baca : revolusi) mendorong Persatuan Aktivis Nasional ’98 (PENA 98) untuk merebut kekuasaan tahun 2019.
Sekjen PENA 98, Adian Napitupulu optimis jika 50 orang duduk jadi anggota DPR RI berasal dari kalangan aktivis 98 meski berbagai partai politik sudah bisa menjadi bargaining position untuk perubahan bangsa ini. Sebuah kekuatan yang bisa melawan kekuatan neo Orba dan budaya busuk selama ini dilestarikan. Sebuah kekuatan yang bisa mendorong orang-orang baik bekerja untuk kemajuan bangsa ini. Sebuah kekuatan mengawal Jokowi dari rongrongan kekuatan busuk menganggu program Nawa Cita.Sebuah kekuatan untuk melawan isu SARA.
Penulis: Aznil, PENA 98