NUSANTARANEWS.CO – Visi misi poros maritim kini tercipta tiga pandangan: pertama, untuk kemajuan. Ada banyak stakeholders yang bangga dengan visi dan kerja pemerintah. Tetapi, yang memiliki atensi merespon dan mengukur indikator keberhasilan pemerintah yakni netizen, penonton teve, pembaca koran dan main media sosial.
Pandangan pertama soal persepsi publik terhadap kinerja pemerintah yang dinilai baik. Tetapi, belum tentu baik bagi masyarakat kelas bawah seperti nelayan dan petani. Karena mereka beli teve dan koran atau handpone android untuk membuka berita saja sangat susah. Jadi masyarakat kelas bawah ini belum merasakan manfaat visi poros maritim.
Model indikator tolak ukur itu realistis, karena memang pemerintahan yang baik tidak dinilai dari pendapat dan persfektif netizen atau peselancar media sosial. Namun, pemerintah dinilai baik dan berhasil oleh rakyatnya ketika pembangunan dan kebijakan itu menciptakan rasa manis dan bahagia.
Pandangan kedua, untuk kedaulatan. Penenggelaman kapal sering menjadi issu bunglis (nebeng) poros maritim sebagai tafsir dan tanda berdaulatnya Indonesia dimata asing. Ini yang salah ditafsirkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai pelaksana tugas dan peran kebijakan dari visi poros maritim presiden Republik Indonesia.
Pandangan ketiga, untuk kesejahteraan, cara merealisasikan program pemerintah ini memang harus rigit hingga tercapai aspirasi masyarakat dalam kebijakan pembangunan. Tentu, semua itu untuk kesejahteraan. Namun, bisa ditelaah lebih jauh, kalau kebijakan itu tanpa ada pemetaan, kajian dan dampak sosial ekonomi. Maka kebijakan itu menyakitkan sekali.
Sala satu contoh, pada Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia bahwa kebijakan yang ada selama ini sangat tidak relevan dengan tiga pandangan diatas tadi. Walaupun semua kebijakan KKP bermuara pada argumentasi untuk kesejahteraan. Tetapi, justru sebaliknya terjadi kemiskinan, pengangguran dan meningkatnya kriminalitas.
Banalitas itu terjadi akibat kebijakan pelarangan alat tangkap nelayan. Ditambah lagi, kebijakan yang bukan tupoksi KKP RI seperti penenggelaman kapal. Walaupun, menteri KKP sendiri memilih argumentasi bahwa penenggelaman kapal itu amanat Undang-Undang Perikanan Republik Indonesia.
Jadi harus dipahami, dimaksud amanat undang-Undang itu tidak harus kementerian Kelautan dan Perikanan yang melaksanakan penenggelaman kapal. Tetapi, Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Angkatan Laut, Bakamla, Polairud dan Pengadilan sendiri.
Karena kalau dijelaskan dalam proses tugas dan fungsi yang sesuai undang-undang. Maka, KKP RI tidak memiliki peran dan fungsi penenggelaman kapal. Mestinya, TNI AL dan Polairut sebagai pelaksana putusan pengadilan dan Undang-Undang sebagai badan pemerintah yang berfungsi penegakan hukum. Oleh sebab itu, KKP bukan penegak hukum. Tetapi, KKP berfungsi sebagai akselerasi program kelautan dan perikanan, bukan tenggelamkan kapal.
Terutama yang paling menjadi sorotan saat ini, alasan kebijakan KKP atas pelarangan alat tangkap nelayan, penenggelaman kapal, berantas illegal fishing dan ekspor diklaim naik. Masalahnya, tidak ada fakta kebijakan itu memberikan kesejahteraan kepada nelayan.
Pertanyaan, lalu kebijakan itu untuk siapa? siapa yang untung dan buntung. Yang jelas, nelayan buntung dan asing yang untung. Logisnya, atas semua kebijakan itu nelayan menjadi buntung dan asing untung karena korelasi kebijakan tak menyentuh masalah perikanan untuk memberikan jalan keluar.
Pada tahun 2017, KKP telah membuka data Vessel Monitoring System (VMS) kepada dunia internasional (PBB). Atas membuka data ini asing memiliki kesempatan besar untuk melakukan penangkapan ikan dilaut Indonesia.
Masalah peta kapal nelayan yang dibuka ini membuat banyak kapal asing berseliweran menangkap ikan diperairan laut Indonesia. Sehingga menambah deretan pencurian ikan. Hal ini yang membuat semakin sulit untuk diberantas. Justru, illegal fishing semakin marak.
Apalagi data Vessel Monitor System (VMS) ini merupakan rahasia negara yang selama ini dilindungi oleh negara agar tidak bocor. Dengan persoalan membocorkan ini semakin berat proses berantas illegal fishing.
Maka, semestinya kebijakan harus objektif dan memberikan rasa baik bagi kesejahteraan nelayan. Namun, terbalik yang selama ini dirasakan nelayan, yakni kesulitan melaut, susahnya mengurus SIPI SIKPI, anjloknya ekspor, gagalnya peningkatan kesejahteraan, kapal mangkrak dan bantuan KKP sendiri banyak tidak menyentuh persoalan sebagai solusi. Jadi kondisi saat ini, nelayan buntung dan asing untung.
Penulis: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI)