NUSANTARANEWS.CO – Filosofi Kupat Qunutan Bagi Masyarakat Tanggerang. Istilah ketupat atau ketupatan identik dengan hari raya ketupat yakitu tujuh hari setelah hari raya Idul Fitri. Namun bagi masyarakat Tanggerang, Banten, memiliki tradisi ketupatan ketika masih berada di pertengahan bulan puasa. Tepatnya, setelah masa berpuasa memasuki hari atau malam ke-15.
Tradisi membuat dan memasak dilakukan oleh para ibu-ibu di daerah Tanggerang. Tradisi ini hampir sama dengan tradisi yang berlangsung di perkampungan Cinere (Depok), warga Binjai (Sumatera Utara), dan Wajo (Sulawesi Selatan). Seperti tahun-tahun sebelumnya para ibu atau kaum perempuan di Tanggerang membuat dan memasak ketupat di hari ke-15 dan ke-16 puasa. Tradisi ini juga masih berlaku di bulan puasa tahun ini.
(Baca juga: Semarak Tradisi 15 Ramahan Dari Binjai Hingga Wajo)
Masyarakat setempat menyebut tradisi ini dengan istilah Qunutan atau Kupat Qunutan. Seperti halnya di Cinere dan Binjai, ketupat-ketupat yang sudah matang dibawa ke masjid menjelang Salat Tarawih. Baru setelah menjalankan ibadah Shalat Taraweh ketupat tersbeut dibagikan kepada para jemaah.
Berbeda dengan tradisi di perkampungan Cinere dan Binjai, tradisi ketupat di Tanggerang memiliki keunikannya sendiri. Dimana, ketupat yang dibawa ke masjid dan dibagikan tanpa ada tambahan sayur atau pun lauk-pauk lainnya. Namun di rumah masing-masing sudah memasak sayur kulit tangkil atau opor ayam untuk dijadikan pelengkap makan ketupat yang diperoleh dari masjid.
Manurut penuturan salah seorang tokoh masyarakat Desa Pasir Gadung, Cikupa, Tangerang, H Asnawi, tradisi ini disebut Kupat Qunutan lantaran ketika rakaat terakhir shalat witir sang imam membaca doa Qunut. Tradisi tersebut sudah menjadi warisan secara turun temurun. Namun masyarakarat belum tahu pasti awal mulanya. Sebagain warga menyebut lahirnya tradisi itu pada tahun 1524 di zaman Kesultanan Demak saat memperluas pengaruhnya ke daerah Barat.
Tujuan membagi-bagikan ketupat sebagai rasa syukur karena telah menjalani separuh puasa dan demi meraih berkah bulan suci Ramadhan. Masyarakat mengkhidmati moment tersebut dengan cara bersedekah atas harapan supaya mampu menjalani puasa yang tersisa. Selain warga setempat juga berharap bersar supaya dapat meraih malam Lailatul Qadar yang diyakini terdapat di penghujung Ramadhan.
Tahun ini, tradisi ini sudah mulai sedikit yang menjalaninya, lantaran terhambat oleh kesibukan masing-masing. Faktor lain, karena banyaknya perantau di daerah tersebut. Tradisi ini selain dilaksanakan di Tanggerang juga dilakukan oleh sebagain warga DKI Jakarta, Cilegon, Madura, Sumatera Utara, dan Gorontalo. (Sel/MRH)
Lihat artikel sebelumnya: Keunikan Tradisi Kupatan di Perkampungan Cinere di Malam 15 Ramadhan