Terbaru

Fakta Dibalik Fenomena Merantau Pasca Lebaran

Suasana Terminal Arus Balik (Istimewa)
Suasana Terminal Arus Balik (Istimewa)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Ada fenomena menarik pasca lebaran di Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum jika pasca lebaran, biasanya diikuti dengan fenomena meningkatnya orang-orang dari desa hijrah ke ibu kota. Fenomena ini disebut dengan istilah merantau.

Para pendatang baru berbondong-bondong ke kota-kota besar di Indonesia biasanya dibawa oleh sanak keluarga ataupun tetangganya yang lebih dulu merantau. Menurut catatan Badan Pusat Statistik, pada umumnya tingkat urbanisasi di berbagai kota besar mencapai di atas 75 %.

Kota-kota tersebut antara lain, Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, dan lainnya tingkat pendatang dari berbagai wilayah (daerah) semakin tahun semakin meningkat. Bahkan di DKI Jakarta lebih 100 persen atau lebih banyak pendatang daripada ketersedian lapangan pekerjaan yang tersedia. Sedangkan di kota-kota berkembang tingkat urbanisasi masih berkisar 35% sampai dengan 40%.

Baca Juga: Tradisi Mudik dan Lebaran Sebagai Ekspresi Islam Nusantara

Alumnus Pascasarjana Sosiologi UGM, Nur Faizin Darain (2017) dalam artikelnya menyebut angka demikian bila ditarik dari segi sosiologi pembangunan akan menemukan ketimpangan. Belum lagi persoalan ketersediaan lapangan pekerjan dan gesekan sosial yang dibawa oleh masing-masing budaya dapat berakibat asimilatif, baik positif atau negatif.

Baca Juga:  Sering Ambrol dan Putus, Kualitas Jembatan dan Penahan Banjir di Lumajang Rendah

“Yang positif timbul budaya saing dan tingkat kebudayaan yang semakin kaya. Akan tetapi realitas tersebut dapat berakibat fatal ketika muncul konflik kepentingan antar berbagai individu. Tidak jarang kekerasan menjadi pilihan terakhir. Misalnya pasca 1997 konflik masyarakat urban di berbagai daerah di kota-kota besar semakin nampak,” ungkapnya.

Urbanisasi apabila tidak ditekan dengan baik dan dialihkan ke tempat yang lebih produkif alamnya dapat berakibat pada kemiskinan akut. Menyitir lagu bang Haji Rhoma Irama; yang miskin makin miskin, yang kaya makin kaya. Hal itu tentunya menjadi persoalan pelik di negeri ini. Belum lagi persoalan korupsi yang tidak kunjung usai.

Memang kemiskinan dalam berbagai struktur sosial dalam kacamata fungsionalisme struktural mempunyai nilai fungsional. Harbert Gans (1972) misalnya, menilai bahwa kemiskinan (terutama di kota) mempunyai fungsi ekonomi dan sosial, kultural, dan politik. Misalanya di Amerika kemiskinanan dalam fungsi politiknya menjadi ukuran mengenai perubahan dan pertumbuhan dalam masyarakat dan kemiskinan menyebabkan sistem politik menjadi lebih centrist dan lebih stabil.

Baca Juga:  Polres Pamekasan Sediakan Bantuan Kesehatan Gratis untuk Petugas KPPS Pasca Pemilu 2024

Namun demikian, Gans memberikan alternatif perubahan sosial bagi ketergentungan pada sistem kemiskinan. Gans mengemukakan bahwa jika orang ingin menyingkirkan kemiskinan, maka harus mampu mencari alternatif lain. Alternatif yang diusulkan Gans adalah otomatisasi. Otomatisasi dapat menggantikan fungsi si miskin yang semula mengerjakan pekerjaan kotor, untuk kemudian dapat dialihkan kepada fungsi yang lain yang memberikan upah yang lebih tinggi (George Rizer: 2010; 24)

Kemiskinan dapat terentaskan bila seluruh elemen masyarakat, khususnya masyarakat yang datang dari berbagai daerah yang hendak mengadu nasib di kota-kota besar, dapat mempersiapkan diri dengan produktifitas dan kreatifitas yang memadai. Bagi pemerintah jalan lain bisa ditempuh dengan meningkatkan ketersediaan lapangan pekerjaan dan pengembangan model urbanisasi pedesan.

Editor: Romandhon

Related Posts

1 of 3,050