NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Wakil Ketua Umum DPP Gerindra Fadli Zon menyampaikan besarnya selisih antara hasil survei satu lembaga dengan lembaga lainnya yang dipublikasikan sepanjang bulan Maret 2019 membuat kubu capres-cawapres nomor urut 02 tersenyum.
Fakta tersebut jelas membuat tersenyum, kata Fadli, lantaran semua survie mengklain dirinya obyektif, ilmilah, danketat secara metodik, namun survie-survei yang dilakukan pada waktu yang berdekatan itu, serta dipublikasikan hanya berselang hari, ternyata menghasilkan angka-angka dengan selisih yang besar yang Fadli sebut dengan istilah “jurang menganga”.
Baca Juga:
- Cara Lembaga Survei Memanipulasi Responden Terungkap
- Lembaga Survei Nasional Dinilai Ramai-ramai Seret Jokowi Bernasib Seperti Ahok
- Peneliti LIPI: Lembaga Survei Masih Banyak Memiliki Persoalan
Fadli memaparkan, Litbang Kompas dua hari lalu, Rabu (20/3/2019) merilis hasil survei yang kemudian jadi perbincangan nasional. Sebabnya, jarak elektabilitas antara Jokowi dengan Prabowo, menurut survei Kompas tersebut, telah terpangkas lebih dari 50 persen jika dibandingkan dengan survei-survei lembaga lainnya.
Lima hari lalu, misalnya, lanjut Fadli, dalam publikasi SMRC, jarak elektabilitas antara Jokowi dengan Prabowo masih terpaut 25,8 persen. Tapi dua hari lalu, menurut survei Kompas, jarak elektabilitas itu tinggal 11,8 persen. Dalam survei internal Prabowo-Sandi malah sudah unggul beberapa persen.
Ada hal yang membuat kubu Fadli tersenyum ialah hasil survei terbaru Indo Barometer yang dipublikasikan pada Kamis (21/3) kemarin. “Hasilnya kembali drastis. Jarak elektabilitas antara Jokowi dengan Prabowo kembali berada di atas 20 persen. Terus terang saya agak geli membacanya,” ujarnya melalui akun twitternya @fadlizon, Jumat (22/3).
“Angka-angka survei yang timpang satu sama lain saya kira telah membuat publik kian tersadarkan bahwa tak ada lembaga survei yang independen di Indonesia. Sebab, semua lembaga survei yang ada telah merangkap jadi konsultan politik yang bekerja untuk menyukseskan kepentingan partai atau kandidat tertentu,” hemat Fadli.
Fadli menilai, cara kerja lembaga-lembaga survei layaknya pengacara yang sedang membela kliennya. “Mereka adalah bagian dari industri politik yang kerjanya mencari keuntungan,” tegasnya.
“Coba saja lihat hasil Pilkada DKI, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Semua lembaga survei meleset jauh, bisa ratusan persen. Artinya lembaga survei gagal total memotret realitas masyarakat sesungguhnya. Malah jadi “teror” terhadap lawan-lawan politik kliennya,” imbuh Fadli.
Sejarah lembaga survei di Indonesia, lanjutnya, memang berimpit dengan tumbuhnya lembaga-lembaga konsultan politik. Itu sebabnya, kata dia, survei politik yang dipublikasikan di Indonesia tidak bisa dijadikan alat untuk memetakan pendapat publik, karena sebenarnya survei tersebut digunakan untuk menggiring opini publik, dijadikan sebagai alat framing, alat kampanye atau alat propaganda.
Fadli menegaskan, dalam dunia politik Indonesia, survei lebih merupakan infrastruktur imagologi, atau pencitraan. Itu sebanya akurasinya pantas dipertanyakan. “Ke depan, untuk kepentingan regulasi Pemilu dan Pilpres, kita perlu menegaskan norma bahwa ketika lembaga survei direkrut menjadi konsultan oleh partai politik atau kandidat yang berlaga dalam Pemilu, maka mereka harus diposisikan sama seperti halnya tim kampanye,” usul Fadli. (tim/nn)
Editor: Achmad S.